Pembangunan tersebut selaras dengan besarnya alokasi anggaran yang dibutuhkan demi terbangunnya sarana dan infrastruktur yang memadai, bagi kenyamanan dan keselamatan masyarakat.
Anggaran untuk pembangunan rehab rekon sarana dan infrastruktur di kawasan Teluk Palu, mencapai triliunan rupiah. Ini wajar mengingat desain konstruksi yang membutuhkan anggaran besar.
Namun demikian potret fisik infrastruktur rehab rekon yang berlokasi di Teluk Palu terlihat kontras dengan keberadaan puing bangunan pasca gempa yang masih tersisa di kawasan tersebut.
Pemandangan antara infrastruktur rehab rekon dan puing bangunan, menjadi potret dua wajah yang menyiratkan kemajuan peradaban di satu sisi. Serta peninggalan pasca gempa di sisi lainnya.
Keberadaan puing bangunan terlantar tetsebut sejatinya hendak 'menginterupsi' pemerintah. Bahwa ada yang terlupakan dari pelaksanaan rehab rekon dalam menata kawasan tersebut menjadi lebih baik.
Entah apakah keberadaan puing bangunan tersebut sudah masuk dalam rancangan desain rehab rekon oleh pemerintah. Atau sebaliknya memang tidak menjadi bagian sama sekali dari rehab rekon tersebut.
Bertahun-tahun tanpa sentuhan, puing bangunan tersebut sejatinya bisa menjadi ikon sejarah dari peristiwa kelam di tahun 2018. Jika saja ada political will dari pemerintah pusat dan daerah untuk menindak lanjutinya.
Karena itu sebelum terlambat, seharusnya kebetadaan puing bangunan tersebut segera diambil alih oleh pemerintah. Lewat skema pembebasan lahan dan bangunan.
Kemudian direvitalisasi menjadi spot destinasi sejarah sebagai bagian dari program rehab rekon. Apakah berupa museum atau bangunan ikonik mengenang kejadian gempa dan tsunami Palu.