Upaya pemberdayaan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat lokal menjadi dilema saat wilayah pesisir perairan yang menjadi sumber penghidupan, mengalami degradasi berupa pencemaran maupun pengrusakan lingkungan.
Dalam Undang-Undang 1 tahun 2014 tentang Pengelolan Wilayah Pesisir dan Pulau Pulau Kecil menyebutkan, masyarakat lokal adalah kelompok masyarakat yang menjalankan tata kehidupan sehari-hari berdasarkan kebiasaan yang sudah diterima sebagai nilai-nilai yang berlaku umum.Â
Sementara pencemaran pesisir adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, atau komponen lain ke dalam lingkungan pesisir akibat adanya kegiatan setiap orang, sehingga kualitas pesisir turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan pesisir tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya.
Adapun degradasi lingkungan wilayah pesisir yang aktual saat ini meliputi keberadaan limbah (sampah) baik yang hasilkan lewat aktivitas perorangan maupun badan usaha. Selain itu adanya aktivitas reklamasi untuk kepentingan domisili, usaha pariwisata maupun bisnis. Serta keberadaan pembangunan untuk kepentingan sarana pertambangan atau hilirisasi. Â Â Â Â
Degradasi lingkungan wilayah pesisir tersebut, menyebabkan dampak besar sebagaimana disebutkan dalam UU no 1 tahun 2014. Berupa terjadinya perubahan negatif fungsi lingkungan dalam skala yang luas dan intensitas lama yang diakibatkan oleh suatu usaha atau kegiatan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Serta dampak penting dengan cakupan yang luas. Yakni perubahan yang berpengaruh terhadap kondisi biofisik seperti perubahan iklim, ekosistem dan dampak sosial ekonomi masyarakat bagi kehidupan generasi sekarang dan generasi yang akan datang.
Maraknya keberadaan limbah (sampah), aktivitas reklamasi serta pembangunan sarana pertambangan di wilayah pesisir perairan yang mendegradasi lingkungan pesisir, adalah sebuah keniscayaan. Dan terjadi hampir di seluruh daerah di Indonesia termasuk juga di wilayah Sulawesi Tengah (Sulteng).
Dimana paling terdampak dari adanya aktivitas tersebut sudah pasti masyarakat lokal yang sehari-harinya beraktivitas sebagai nelayan kecil, pembudidaya ikan air laut serta penambak garam. Termasuk juga masyarakat lokal yang mengelola sektor pariwisata wilayah pesisir yang berkearifan lokal. Â
Â
Degradasi lingkungan yang menimbulkan dampak negatif tersebut, tentu saja bertolak belakang dengan tujuan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016 yang ingin melindungi dan memberdayakan nelayan, pembudidaya ikan serta penambak garam. Selaku masyarakat lokal yang menggantungkan hidupnya dari ekosistem wilayah pesisir.
Â
Dimana dalam pasal 3 menyebutkan, perlindungan dan pemberdayaan dimaksud diantaranya, menyediakan prasarana dan sarana yang dibutuhkan dalam mengembangkan usaha. Memberikan kepastian usaha yang berkelanjutan. Meningkatkan kemampuan dan kapasitas. Serta melindungi dari risiko bencana alam, perubahan iklim dan pencemaran.
Tentu tujuan perlindungan dan pemberdayaan tersebut mengalami dilema, ketika sumber penghidupan yang diandalkan oleh masyarakat lokal mengalami degradasi akibat faktor kesengajaan maupun kelalaian.
Keberadaan limbah sampah yang mengendap di wilayah pesisir misalnya, turut berpengaruh terhadap keberadaan biota laut yang menjadi sumber penghasilan nelayan. Termasuk juga pembudidaya ikan air laut, penambak garam serta masyarakat yang hidup dari sektor pariwisata alam pesisir.
Demikian juga aktivitas reklamasi maupun pembangunan untuk kepentingan prasarana pertambangan, disinyalir membuat jumlah ikan menurun dan berdampak terhadap mata pencaharian nelayan setempat. Ini secara perlahan menggerus lahan usaha masyarakat lokal. Â
Sebagai contoh di wilayah Provinsi Sulteng sektor pertambangan dan hilirisasi yang menjadi primadona investasi, mengharuskan pembangunan sarana dermaga kapal (tongkang) di wilayah pesisir, untuk mobilitas angkutan hasil produksi tambang maupun industri hilirisasi.Â
Sudah pasti berdampak langsung bagi masyarakat lokal yang berdomisili dan menggantungkan hidupnya di wilayah pesisir tersebut. Dimana harus menerima konsekuensi, yakni terdesak dari tempatnya akibat pembangunan sarana dan fasilitas pertambangan tersebut.
Digenjotnya berbagai aktivitas reklamasi maupun pembangunan yang menggerus wilayah pesisir, tentu saja berdampak pada kepastian usaha berkelanjutan bagi masyarakat lokal terutama nelayan. Akibatnya tujuan perlindungan dan pemberdayaan sebagaimana diamanatkan oleh UU tidak terwujud. Sebaliknya hanya menambah problematika baru bagi masyarakat lokal. Â
Peran Pemerintah dalam Pemberdayaan
Pada pasal 60 UU no 1 tahun 2014 menyebutkan, dalam pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, masyarakat mempunyai hak melakukan kegiatan pengelolaan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Selain itu mempunyai hak untuk memperoleh manfaat atas pelaksanaan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil; Serta memperoleh informasi berkenaan dengan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Sementara dalam pasal 63 menyebutkan, pemerintah dan pemerintah daerah berkewajiban memberdayakan masyarakat dalam meningkatkan kesejahteraannya. Serta berkewajiban mendorong kegiatan usaha masyarakat melalui peningkatan kapasitas, pemberian akses teknologi dan informasi, permodalan, infrastruktur, jaminan pasar, dan aset ekonomi produktif lainnya.
Terkait hak masyarakat lokal dan kewajiban pemerintah tersebut, maka harus selaras antara pengelolaan wilayah pesisir dengan upaya pemberdayaan. Karena seharusnya pemberdayaan masyarakat lokal lah yang perlu diprioritaskan, demi meningkatkan pendapatan ekonomi dan kesejahteraan hidupnya sesuai amanat UU.
Sebagaimana diketahui, sejumlah problematika dihadapi masyarakat lokal dalam meningkatkan kesejahteraannya. Diantaranya nelayan kecil tidak memiliki legalitas kapal, sehingga hasil tangkapannya tidak dapat dijual ke perusahaan. Karena kebanyakan perusahaan besar mempunyai kebutuhan untuk ekspor yang mensyaratkan kejelasan asal-usul ikan dan harus memiliki ecolabel.
Selain itu nelayan kecil sampai saat ini masih terbatas dalam akses jaminan sosial. Padahal dalam Peraturan Pemerintah no 27 tahun 2021 tentang Penyelenggara Kelautan dan Perikanan, disebutkan nelayan mendapatkan lima item asuransi. Sayangnya turunan PP yakni Peraturan Menteri Kelautan no 33, disebutkan implementasi asuransi nelayan dipotong menjadi tiga asuransi.
Begitu juga terkait skema pembiayaan untuk nelayan baik itu Kredit Usaha Rakyat (KUR) ataupun Badan Layanan Umum (BLU) dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Tahun 2022 realisasi KUR untuk nelayan sebanyak Rp 9 triliun, meningkat dibandingkan tahun 2018 hanya sebesar Rp 7 triliun.
Tetapi, skema itu didominasi non perikanan tangkap. Sementara perikanan tangkap hanya memperoleh sekitar 24 persen dari total KUR yang disalurkan. Jika dilihat lebih jauh lagi, dari 24 persen total KUR yang diberikan kepada nelayan perikanan tangkap, hanya sebagian kecil akses untuk nelayan kecil.
Belum lagi keterbatasan sarana dan fasilitas yang dihadapi oleh nelayan, pembudidaya ikan air laut serta penambak garam dalam meningkatkan produksi usaha mereka. Jika diuraikan keterbatasan tersebut tentu sangat banyak. Namun salah satunya yang bisa diungkap adalah keterbatasan sarana kapal penangkap ikan dengan mesin ukuran besar yang dibutuhkan oleh nelayan kecil.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) menunjukkan 80,58 persen nelayan Indonesia adalah nelayan kecil dengan ukuran kapal lebih kecil dari 5 GT. Â Serta 72,37 persen menggunakan mesin dengan ukuran 0-24 PK.
Berbagai problem dalam upaya pemberdayaan masyarakat lokal tersebut, membuktikan menajemen pengelolaan kelautan dan perikanan oleh pemerintah masih belum optimal. Padahal sebagai negara maritim, sudah selayaknya entitas yang ada didalamnya perlu menikmati ruh pemberdayaan dengan pemerintah sebagai leading sektornya.
Tentunya jika menajemen tersebut dioptimalisasi dari segi pemberdayaan entitas dan penanganan degradasi ekosistem kelautannya, maka diyakini sektor kelautan dan perikanan akan lebih produktif. Serta Indonesia sebagai negara maritim akan semakin maju, ditandai dengan menurunnya masyarakat miskin yang bermukim di wilayah pesisir.
Peran kongkrit pemerintah daerah dalam pemberdayaan nelayan kecil sangat dibutuhkan. Salah satunya lewat skema anggaran. Namun harus diakui kendala anggaran di daerah, seringkali belum dapat mengakomodir kebutuhan nelayan maupun masyarakat lokal di wilayah pesisir.
Solusinya perlu ada desentralisasi program dan anggaran pemberdayaan nelayan oleh pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Sekarang ini anggaran pemberdayaan juga diurus oleh pemerintah pusat. Padahal urusan nelayan kecil berada di pemerintah daerah.
Disatu sisi perlu ada kebijakan pemerintah dalam meminimalisir degradasi lingkungan wilayah pesisir yang menggerus mata pencaharian nelayan. Dalam artian kebijakan untuk menggenjot pembangunan sarana dan prasarana untuk kepentingan investasi, Â jangan sampai merusak ekologi dan mematikan usaha nelayan dan masyarakat lokal lainnya.
Baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah memahami  betul kendala dan kebutuhan wilayah pesisir. Oleh karena itu dalam mewujudkan Indonesia sebagai negara yang maju di sektor maritim, kuncinya adalah melaksanakan kewajiban perlindungan dan pemberdayaan lewat kebijakan dan program yang dapat meningkatkan taraf hidup nelayan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H