Mohon tunggu...
Efrain Limbong
Efrain Limbong Mohon Tunggu... Jurnalis - Mengukir Eksistensi

Nominator Kompasiana Award 2024

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Menanti Keputusan Skema Perpanjangan Kontrak Karya PT Vale Indonesia

31 Juli 2023   14:48 Diperbarui: 31 Juli 2023   15:48 468
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Penghujung bulan Juli 2023 menjadi deadline pengambilan keputusan Pemerintah terhadap proses perpanjangan Kontrak Karya (KK) PT Vale Indonesia. Selanjutnya publik menanti seperti apa skema putusan Pemerintah terhadap perusahaan tersebut.

Seperti diketahui, PT Vale Indonesia merupakan perusahaan nikel yang beroperasi di Indonesia sejak ahun 1968 atau sudah 55 tahun berjalan. Dimana KK perusahaan asal Kanada tersebut akan berakhir pada tahun 2025.

Gonjang-ganjing kini mewarnai rencana perpanjangan KK PT Vale Indonesia menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) yang ditangani oleh Kementerian Sumber Daya Energi dan Mineral (ESDM).

Sebagaimana dalam pasal 1 ayat 13b Undang-Undang (UU) No 3 tahun 2022 tentang Minerba menyebutkan, IUPK sebagai kelanjutan operasi kontrak/perjanjian adalah izin usaha yang diberikan sebagai perpanjangan setelah selesainya kontrak karya.

Dimana keputusan yang diambil bakal mengerucut kepada tiga skema utama. Pertama, PT Vale Indonesia menyerahkan divestasi (pelepasan) saham sebesar 51 persen kepada investor nasional atau pemerintah, sebagai persyaratan proses IUPK.

Terkait pelepasan saham tersebut merujuk pada pasal 112  UU tentang Minerba. Dimana mewajibkan pemegang IUPK yang sahamnya dikuasai oleh asing, untuk melepas 51 persen sahamnya secara berjenjang kepada Pemerintah, Pemda atau BUMN maupun BUMD.

Kedua, Pemerintah tidak lagi memperpanjang KK PT Vale Indonesia dan diambil alih pengelolaannya lewat holding BUMN. Atau kepada perusahaan lain yang kualifide. Ini akan menjadi kuputusan fenomenal jika KK tidak diperpanjang.

Ketiga, Pemerintah menyetujui menerima tambahan divestasi saham sebesae 11 persen secara berjenjang yang berarti belum menjadi saham mayoritas. Soal skema ketiga ini menjadi polemik, karena dianggap tidak signifikan.

Seperti diketahui luas konsesi PT Vale Indonesia di Sulawesi adalah  118.017 hektar . Meliputi Propinsi Sulawesi Selatan 70.566 hektar, Sulawesi Tengah 22.699 hektar dan Sulawesi Tenggara  seluas 24.752 hektar.

Presiden Jokowi sendiri yang menegaskan, bahwa kepentingan nasional harus didahulukan atas rencana perpanjangan operasional PT Vale Indonesia. Jokowi juga yang menegaskan, bahwa deadline keputusan Pemerintah pada bulan Juli.

Presiden Jokowi sudah menyempatkan mengunjungi kawasan PT Vale Indonesia di Sorowako Propinsi Sulsel pada Maret 2023 lalu. Dimana Jokowi meninjau pengolahan hasil tambang, area smelter (pabrik pemurnian nikel) serta reboisasi yang dilakukan perusahaan tersebut.

Lalu apakah yang dimaksud Presiden Jokowi soal kepentingan nasional adalah penguasaan divestasi saham sebesar 51 persen. Atau sebaliknya, tidak memperpanjang pemberian IUPK. Ini yang membuat publik menunggu kepastian dari Pemerintah.

Bola kini berada di tangan Kementerian ESDM selaku leading sektor dalam mengkalkulasi, membahas dan bernegoisasi dengan PT Vale Indonesia. Terkait skema yang tepat terhadap perpanjangan KK yang mengedepankan kepentingan negara Indonesia.

Soal divestasi saham sebesar 51 persen bergema dari Gedung Parlemen di Senayan lewat Komisi VII DPR RI. Pemerintah diminta untuk tidak menerima tawaran tambahan divestasi saham yang hanya sebesar 11 persen dari PT Vale Indonesia. Karena terlalu kecil dan tidak berdampak signifikan buat kepentingan negara.

Dengan divestasi saham yang hanya sebesar 11 persen, maka mayoritas saham masih tetap dimiliki oleh asing. Yakni Vale Canada Limited (VCL) 44, persen, Sumitomo Metal Mining Co. Ltd (SMM) sebesar 15 persen.

Sementara saham murni Indonesia sejauh ini baru 20 persen, yakni dimiliki oleh MIND ID selalu holding Pemerintah. Sementara 20,7 persen merupakan saham publik terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI).

Jika Pemerintah menerima tawaran divestasi saham sebesar 11 persen serta ditambah saham 20 persen sebelumnya, maka total saham yang dimiliki Indonesia  baru berkisar 31 persen. Besaran saham tersebut dianggap belum mayoritas.

Suasana peletakan baru pertama pembangunan smelter di Blok Bahodopi. Doc Menko Perekonomian
Suasana peletakan baru pertama pembangunan smelter di Blok Bahodopi. Doc Menko Perekonomian

Tidak salah jika Parlemen di Senayan menghendaki adanya divestasi saham mayoritas oleh investor nasional. Tujuannya agar Pemerintah bisa menjadi pengendali di perusahaan tersebut.

Di satu sisi pengaturan yang dikuasai investor nasional, akan lebih memberi dampak yang positif bagi masa depan pertambangan di Indonesia. Seperti bagi hasil yang adil untuk daerah, kemitraan bersama badan usaha daerah serta pemberdayaan masyarakat lokal.

Lalu bagaimana dengan tidak diperpanjang KK PT Vale Indonesia?  Hal tersebut tidak menutup kemungkinan terjadi, mengingat adanya aspirasi penolakan dari 3 Gubernur di Sulawesi terhadap perpanjangan KK  PT Vale.

Yakni Gubernur Sulawesi Selatan (Sulsel) Andi Sudirman Sulaiman, Gubernur Sulawesi Tenggara (Sultra) Ali Mazi dan Gubernur Sulawesi Tengah (Sulteng) Rusdy Mastura. Keputusan 3 Gubernur tersebut disampaikan dihadapan Komisi VII DPR RI bulan September 2022 lalu.

Penolakan disampaikan mengingat kontribusi PT Vale Indonesia dianggap tidak signifikan bagi daerah. Baik dari aspek rekruitmen tenaga kerja, pemberdayaan badan usaha lokal serta pendapatan daerah. Padahal keberadaan perusahaan sudah cukup lama mengelola sumber daya alam tambang di Pulau Sulawesi.

Dukungan terhadap penolakan Gubernur datang dari pemerhati tambang dan juga sebagian anggota Parlemen di Senayan. Dengan harapan dapat memberi pelajaran bagi perusahaan tambang lainnya yang tidak memberikan kontribusi signifikan terhadap daerah dan negara.

Tentu aspirasi para Gubernur tersebut bersifat  masukan, mengingat berdasarkan UU tentang Minerba, pengurusan IUPK adalah menjadi kewenangan Pemerintah Pusat dalam hal ini Menteri ESDM. Sebagaimana diatur dalam pasal 35 ayat 1 bahwa usaha pertambangan dilaksanakan berdasarkan perizinan berusaha dari Pemerintah Pusat.

Bisa jadi penolakan Gubernur kecil terakomodir, melihat keseriusan PT Vale Indonesia untuk terus mengelola konsesinya lewat perpanjangan KK. Dibuktikan dengan pembangunan tiga proyek smelter baru dengan nilai investasi sekitar Rp 140 triliun.

Tiga proyek tersebut adalah proyek Sorowako Propinsi Sulsel senilai US$ 2 miliar, proyek Bahodop Propinsi i Sulteng senilai US$ 2,5 miliar, dan proyek Pomalaa Propinsi Sultra senilai US$ 4,5 miliar.

Ground Breaking atau Peletakan Batu Pertama Blok Pomalaa sudah dilakukan Bulan November 2022 oleh Menko Maritim dan Investasi. Jika sudah beroperasi nantinya, ditargetkan  menghasilkan 120 ribu ton nikel per tahunnya.

Hal yang sama juga sudah dilakukan pada blok Bahodopi Kabupaten Morowali Provinsi Sulteng. Dimana Ground Breaking atau Peletakan Batu Pertama pembangunan smelter oleh Menko Perekonomian  pada bulan Pebruari 2023. Adapun target produksi 73 ribu ton per tahun.

Adapun blok Sorowako sudah lebih dulu memiliki smelter yang telah ditinjau langsung oleh Presiden Jokowi pada Maret 2023 lalu. Dimana suplay energi ke area smelter menggunakan energi terbarukan yakni PLTA.

Maka kembali kepada keputusan Pemerintah sejauhmana hasil evaluasi dan kalkulasi yang akan dikakukan. Apapun yang disuarakan oleh para Gubernur maupun Parlemen di Senayan, menjadi masukan bagi Pemerintah dalam mengedepankan kepentingan nasional.

Jika PT Freeport Indonesia saja bisa diambil alih saham mayoritasnya (51 persen), mengapa tidak hal yang sama berlaku untuk PT Vale Indonesia. Artinya keputusan terhadap PT Freeport bisa menjadi yurisprudensi dalam proses perpanjangan KK PT Vale Indonesia demi kepentingan nasional.

Selain itu tidak ada alasan bagi Pemerintah untuk memperpanjang KK lewat IUPK, jika dari hasil evaluasi track record perusahaan selama diberi kepercayaan di Indonesia, lebih dominan menimbulkan masalah. Dibanding memberikan manfaat besar bagi daerah dan negara.

Tentu keputusan yang bernas dari hasil evaluasi dan negoisasi Pemerintah sangat ditunggu. Jika PT Vale Indonesia bersedia melakukan divestasi saham 51 persen, maka warning Presiden soal kepentingan nasional yang harus didahulukan, dipastikan terakomodir.

Namun jika divestasi saham dibawah 51 persen alias bukan saham mayoritas, maka perlu ada komitmen kuat dari PT Vale Indonesia dalam mensukseskan program nasional hilirisasi nikel dengan mengedepankan keseimbangan ekonomi dan ekologi.

Ditambah lagi kesediaan untuk merangkul Pemerintah Daerah guna meningkatkan pendapatan daerah sebagaimana amanat pasal 128 UU Minerba. Memberdayakan badan usaha dan masyarakat lokal, menjaga kelestarian lingkungan serta mendorong pertumbuhan ekonomi di tiga Propinsi.

Mungkin dengan skema ini, PT Vale Indonesia masih bisa memperpanjang eksistensinya dalam mengelola sumber daya alam tambang di Pulau Sulawesi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun