Sementara dari satu kilogram biji kemiri yang sudah dipecah, harga jual sebesar Rp 28 ribu. Adapun dari 40 kilogram yang siap dipecah, akan memperoleh pendapatan sebesar Rp 1,120 juta.Â
Baginya pendapatan tersebut sudah lumayan dari menjual komoditi biji kemiri yang bermanfaat sebagai sumber minyak dan bahan rempah rempah.
Kemajuan teknologi di era modernitas saat ini tentu sebuah keniscayaan sekaligus kebutuhan bagi peradaban yang maju. Namun tidak serta merta teknologi menjadi sebuah instrumen sempurna sekaligus final, terhadap effort memperoleh pendapatan finansial.
Karena ternyata masih ada yang memilih cara manual sebagai sebuah kearifan lokal. Serta masih ada yang menghindari penggunaan teknologi mesin, dalam mencapai produktivitas. Tiap orang tentu punya pilihan dalam berkreasi yang dianggap baik bagi dirinya.
Saya tidak bermaksud memolarisasi adanya kontradiksi antara kemajuan teknologi mesin dengan cara manual dalam berproduksi. Namun lebih pada mengambil makna terhadap realitas yang ada di depan mata tersebut.
Bahwa itulah sejatinya potret keberadaan petani kita di daerah yang masih familiar dengan cara manual alias tradisional dan terkendala keberadaan peralatan pasca panen. Meski demikian masih bisa dengan tekun serta ulet dalam bekerja, untuk memperoleh penghasilan.Â
Dari seorang pria pemecah kulit buah kemiri yang masih produktif di usia senja, kita bisa belajar tentang bagaimana dia berjuang dengan caranya agar bisa menghidupi keluarga.
Sebagaimana adagium Bung Karno di masa revolusi dulu, "bahwa kita berjuang karena ingin memperbaiki nasib kita." Maka cara masing-masing orang dalam berjuang agar bisa hidup dan nasibnya lebih baik, tentu berbeda.
Kita tidak bisa memaksakan orang lain mengubah cara berjuangnya, jika tidak datang dari dirinya sendiri. Perlu edukasi secara bertahap serta meyakinkan jika transformasi pola kerja berbasis teknologi juga bisa memberi impact yang lebih besar.