Tanggal 28 September 2021 tiga tahun sudah berlalu, namun sejumlah masalah masih mencuat dalam upaya penanganan pasca gempa, tsunami dan liquifaksi di wilayah Palu, Sigi dan Donggala (Pasigala) Provinsi Sulawesi Tengah.
Momentum tiga tahun pasca gempa dasyat 7,4 magnitudo melanda Pasigala tahun 2018 lalu, akan dikenang sebagai sebuah pengalaman spritual  melewati masa masa sulit  Serta perjuangan agar dapat bertahan hidup dalam situasi tidak menentu.
Tangisan, ratap duka cita dan penderitaan, melebur menjadi satu, saat bencana alam memporak porandakan Pasigala. Gempa, tsunami dan liquifaksi datang seketika merenggut korban jiwa dan harta benda warga Pasigala.
Kita yang masih diberikan keselamatan patut menaikkan ungkapan syukur atas perlindungan Sang Khalik  Dimana keselamatan tersebut telah mendorong hadirnya semangat kemanusiaan untuk saling berkontribusi terhadap sesama.
Semangat kemanusiaan yang terbangun dari gempa Pasigala itulah yang menegaskan bahwa modal sosial kita ternyata masih kuat. Modal sosial itu adalah tolong menolong, solidaritas, kepedulian dan rasa kebersamaan diantara penyintas gempa.
Modal sosial ini yang seharusnya menjadi pondasi dalam merefleksikan tiga tahun gempa Pasigala. Yakni sejauh mana upaya penanganan pasca gempa telah memberikan dampak kemasyalahatan bagi warga Pasigala.
Tentu ada beberapa hal yang menjadi catatan dalam momentum merefleksikan tiga tahun gempa Pasigala, dalam upaya penanganan dan rehabilitasi pasca gempa bagi masyarakat yang juga selaku penyintas gempa.
Pertama, keberadaan warga yang masih  menetap di sejumlah hunian sementara (Huntara) hingga tiga tahun berjalan menjadi realitas yang ironis. Bertahan di huntara dalam kondisi keterbatasan, menjadi sebuah paradoks dari geliat rehab rekon yang dilakukan oleh Pemerintah.
Sejumlah huntara yang sudah dibongkar karena habis masa kontrak lahannya, membuat warga penghuni harus meninggalkan huntara dan mencari tempat tinggal masing masing. Tentu Pemerintah perlu memperhatikan realitas ini sebagai tanggung jawab responsif kepada para  penyintas gempa di Pasigala.
Kedua, belum tuntasnya pembangunan hunian tetap (Huntap) di berbagai lokasi yang sudah ditetapkan, akibat kendala yang berlarut larut, adalah realitas yang harus bisa diatasi.Â