"Nasihat yang paling penting dalam setiap bencana alam adalah bantulah sebanyak mungkin orang yang menjadi korban, selama kesempatan menolong itu masih ada."
Idrus A Paturusi
Jumat malam tanggal 28 September 2018, Prof Idrus Paturusi baru saja landing di Bandara Internasional Sultan Hasanuddin. Tangannya tak berhenti menekan tombol ponselnya untuk merespon berbagai pertanyaan yang tiba-tiba membludak dalam pesan WhastAppnya. Sekitar dua kali, dia menerima telpon yang dijawab dengan lugas. Rupanya, sebelum terbang dari Jakarta, Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin (UNHAS) itu, sudah dihubungi beberapa petinggi terkait gempa 7,7 magnitudo dan tsunami yang terjadi pada sore menjelang magrib di Palu Sulawesi Tengah. Â Sebagai seorang dokter yang telah merasakan pahit-getirnya melaksanakan misi kemanusiaan di berbagai medan bencana, nalurinya sedikit gusar menanggapi berita seputar bencana di Palu.
Bencana alam di Palu bagaikan 'bencana trisula' yang sangat mengejutkan, karena selain gempa dan tsunami, juga disertai dengan likuifaksi yang terjadi di Kelurahan Petobo dan Kelurahan Balaroa di Palu, serta di Desa Jono Ogo dan Desa Sibalaya Selatan di Kabupaten Sigi. Likuifaksi sebenarnya bukan hal baru, karena pernah terjadi di Bantul dan Lombok Barat. Tetapi memang dalam catatan gempa di Indonesia tidak ada likuifaksi yang sehebat dan semasif yang terjadi di Palu. Â
Malam itu juga, Idrus menghubungi Kepala Program Studi Orthopedi Fakultas Kedokteran UNHAS Dr. dr. Muhammad Sakti, Sp.OT(K) untuk menyiapkan para spesialis dan residen bedah tulang UNHAS, PSC 119 RS Wahidin Sudirohusodo dan Tim dari PT Semen Tonasa untuk bersiap-siap berangkat ke Palu pada hari Sabtu, tanggal 29 September 2018.
Idrus sendiri baru tiba di Palu pada hari Minggu tanggal 30 September siang. Dia datang bersama 5 dokter spesialis bedah UNHAS dengan menggunakan helikopter milik Haji Isam, salah seorang pengusaha tambang batu bara yang sukses di Kalimantan Selatan. Saat tiba di RS Undata pada Minggu pagi, Tim Orthopedi UNHAS dan PSC 119 RS Wahidin Sudirohusodo sudah 'disambut' oleh bau menyengat yang bersumber dari halaman samping RS Undata. Â Di situ ada sekitar 30-an kantung mayat yang tergeletak begitu saja di dalam kondisi mengenaskan. Kantung mayat itu sudah ada sejak Jumat malam dan belum ada satupun keluarga korban yang datang mengambilnya.Â
Jumlah itu belum seberapa dibandingkan jumlah mayat yang dievakuasi ke RS Bhayangkara Palu. Hal ini menjadi sinyal bahwa jumlah korban jiwa di Palu ternyata jauh lebih banyak dibandingkan dengan informasi yang disampaikan media massa dua hari sebelumnya. Ini belum termasuk korban tewas akiba likuifaksi di Kelurahan Petobo, Kelurahan Balaroa dan Desa Jono Oge yang belum sempat dievakuasi oleh Relawan Basarnas dan warga setempat pada hari itu akibat keterbatasan alat dan personil.
Hari itu halaman depan dan halaman samping RS Undata dipenuhi pasien yang tidur di dalam 2 tenda besar. Sebagian lagi tidur di emper dan teras rumah sakit. Tidak ada satupun pasien yang diopname di dalam rumah sakit. Â Tim Orthopedi UNHAS dan PSC 119 RS Wahidin serta relawan dari IDI Makassar, IDI Sulawesi Selatan, dan PABOI langsung berkoordinasi dengan Direktur RS Undata, dr. I Komang Adi Sujendra yang didampingi dr. Amsar Praja dan dr. Roberti Mailissa untuk melakukan penilaian ruangan rumah sakit yang masih layak digunakan untuk operasi.Â