HAMPIR dua ratus peneliti dari lebih dari 10 negara berkumpul di Universitas Syiah Kuala Banda Aceh dari Rabu hingga Kamis (25-26/5/2011). Para peneliti yang tergabung dalam International Conference on Aceh and Indian Ocean Studies ini membahas berbagai hasil penelitian mereka terkait Aceh, Islam, Melayu, dan sejarah masa lampau di Aceh.
Ini merupakan kali ketiga mereka berkonferensi tentang Aceh dan Samudera India. Pada 2007 lalu, peserta ICAIOS memfokuskan diri pada sejarah masa lampau Aceh yang gemilang. Lebih seratusan salinan manuskrip kuno dari Inggris, Turki, Belanda, Portugis, dan Malaysia diboyong ke Banda Aceh. Ini adalah kali pertama saya --dan mungkin juga warga Aceh lain-- yang melihat bukti bahwa Aceh benar-benar gemilang di masa lampau.
Sebelum melihat bukti ini, berupa surat Iskandar Muda ke Kerajaan Inggris atau Portugis, saya sering bilang ke orang-orang bahwa cerita kedigdayaan Acej pada abad 15 hingga 18 Masehi merupakan cerita tahayul atau dongeng belaka. Sebab, saya nyaris tak bisa menemukan bukti fisik kegemilangan itu di Aceh.
Hanya beberapa saja yang tersisa, yaitu lonceng Cakradonya hadiah Laksamana Cheng Ho dari Dinasti Ming China; benteng Indrapatra yang tak terurus; Kerkhof Pocut tempat ribuan laskar Belanda dimakamkan, atau meuligo (pendopo) peninggalan gubernur jenderal Belan, selebihnya tak ada.
Situs sejarah dan budaya Aceh banyak yang terawat, selain tak ada manuskrip kuno yang mendokumentasikan masa keemasan itu. Manuskrip kuno yang dikelola dengan baik hanya sedikit berada di Museum Negeri Aceh atau Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh. Di lembaga terakhir ini, banyak yang punah setelah dihantam tsunami tujuh tahun silam. Naskah kuno ada juga disimpan dan dikelola warga, tapi itu pun tak terurus baik.
Tarmizi A. Hamid, seorang pegawai negeri di Banda Aceh, menaruh perhatian pada keselamatan naskah kuno ini. Dia merelakan salah satu ruang di rumahnya untuk menyimpan ratusan naskah kuno. Ia berburu naskah kuno hingga ke Brunai Darussalam. Namun ia kelimpungan, karena merawat manuskrip kuno butuh biaya besar, selain kejelian dan keuletan. Ia tak punya banyak dana untuk merawat benda bersejarah ini.
Itu adalah satu soal. Ada hal lain yang juga perlu perhatian kita, terutama Pemerintah Aceh dan Indonesia. Peneliti ICAIOS menyampaikan kegundahan mereka setelah melihat sejumlah situs sejarah Aceh yang tak terawat, seperti situs sejarah yang ada di Gampong Pande.
Gampong Pande berada di pinggiran Kota Banda Ac. Dari Masjid Raya Baiturrahman di pusat kota, ke Gampong Pande waktu hanya 15 menit perjalanan. Desa ini merupakan pintu masuk agama Islam ke Banda Aceh yang dibawa ulama dan saudagar dari Kerajaan Samudera Pasai. Makam seorang ulama besar pembawa Islam ke Banda Aceh, tergerus laut.
Situs lain yang terancam ada di Ujong Batee Kapal di Desa Lamreh, Aceh Besar. Nisan-nisan peninggalan masa Kesultanan Aceh terancam dikubur pembangunan lapangan golf. "Perlu perhatian khusus dari Pemerintah Aceh," kata Dr Saiful Mahdi, direktur ICAIOS.
Jika tak dirawat baik mulai dari sekarang, 20 atau 50 tahun lagi, kejayaan Aceh masa lampau benar-benar akan menjadi dongeng belaka. Jadi, tunggu apa lagi?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H