Mohon tunggu...
Fakhrurradzie Gade
Fakhrurradzie Gade Mohon Tunggu... profesional -

Jurnalis, tinggal di Banda Aceh. Bekerja untuk Situs Berita ACEHKITA.COM. Stringer di The Associated Press. Pernah menerbitkan Majalah ACEHKINI.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Catatan dari Pesta Blogger Aceh

26 Oktober 2010   13:04 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:04 176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

JARUM jam menunjukkan angka 19.40 WIB, Kamis (21/10). Ruangan dalam Tower Coffee belum ramai. Deretan kursi masih dibiarkan kosong melompong. Hanya beberapa anak muda yang terlihat bercakap-cakap di bagian depan, dekat panggung yang ditempeli backdrop besar: Pesta Blogger 2010. Di pintu masuk, tiga dara cantik sabar menanti tetamu undangan, yang mulai berdatangan.

Saya datang agak terlambat dari jadwal di undangan yang disebar di Facebook. Begitu tiba pada pukul delapan kurang lima belas menit, saya tak langsung masuk ke dalam. Saya memilih mengobrol bersama Maimun Saleh dan Riza Nasser, yang lebih duluan tiba. Maimun Saleh mengisi acara sebagai moderator. Sementara Riza Nasser, jurnalis muda berbakat, menjadi penguasa acara malam temu blogger Aceh itu.

Dari menara Baiturrahman, sayup-sayup kumandang adzan Isya terdengar. Belum ada tanda-tanda pesta kecil-kecilan ini bakal segera dimulai. Padahal, lebih dari 40 blogger dan komunitas telah berkumpul, mengisi deretan kursi di ruang berluas seperempat lapangan bola itu.

"Kita lagi menunggu tim dari Pesta Blogger pusat datang," kata Martha Andival, panitia penyelenggara, pada saya. "Mereka sedang otewe ke sini."

Sembari menunggu panitia pusat datang, saya bersama empat blogger Aceh mencari tempat duduk. Saya memilih agak depan, biar bisa memotret acara, dan mengirimkan "laporan" secara live via akun Twitter saya. Tak banyak yang saya kenal. Hanya beberapa, seperti Liza Fathia, Arief dari Detak, Baiquni, Muda Bentara, dan beberapa orang dari Komunitas Pengguna Linux Indonesia. Saya menyapa beberapa di antara mereka. Selebihnya, sama sekali tak saya kenal.

Tak sampai 10 menit kursi plastik merah saya duduki, Riza Nasser berkoar-koar melalui mic. Ia hendak memulai acara. Rupanya, panitia pusat sudah tiba. Saya melihat Enda Nasution, yang oleh media dijuluki sebagai Bapak Blogger Indonesia. Selebihnya, saya tak kenal. Enda pun saya hanya kenal wajahnya saja. Belum pernah ketemu. Paling ketemu secara daring via Facebook atau Twitter.

Mereka akhirnya memilih tempat duduk di meja deretan pertama. Pas berada di depan samping kanan saya. Ini kesempatan untuk mencuit Bapak Blogger, pikir saya. Benar saja, begitu pemusik dari Sanggar Seuni Seulaweuet membuka acara dengan irama seurune kale, saya langsung mengabadikan dan mencuit ke Twitter. Tak lupa saya mention Enda Nasution.

Sayang, performa Sanggar tidak memukau malam itu. Mereka tidak bersiap diri secara maksimal. Tak memakai baju kebesaran, dan terkesan asal tampil. Belum lagi, mikrofon yang disediakan tidak mendukung acara. Hanya mic wireless yang suaranya jempreng.

Sesi diskusi dimulai, begitu Sanggar menyudahi performannya. Maimun Saleh yang menjadi moderator diskusi membuka sesi. Dr Mohammad Harun yang lebih dikenal dengan nama pena Harun Al Rasyid didapuk membahani diskusi "Menggali Kembali Penulisan Sejarah Aceh melalui Blogger".

Doktor Harun merangsang para blogger Aceh untuk menulis sejarah panjang provinsi ini. Tema sejarah tak hanya bertumpu pada heroisme peperangañ, dan kedigdayaan masa lampau. Menurut Doktor, ada banyak sisi sejarah yang lebih humanis yang menarik untuk ditulis.

"Orang Aceh di kampung, selalu memakai kain sarung," kata Doktor di FKIP Universitas Syiah Kuala ini. "Kalau saya pulang kampung dan salat bercelana jeans, orang di kampung selalu tanya kain sarung."

Lantas apa yang menarik dari kain sarung? "Ini erat kaitan dengan penyebaran agama Hindu di Aceh," kata dia.

Apa hubungannya? Kain sarung berasal dari India. Budaya ini dibawa oleh imigran asal India --sebelum misionaris Islam dari Gujarat memperkenalkan Islam pada abad 7 Masehi.

Sebelum kedatangan Islam, warga Aceh merupakan pemeluk Hindu. Bisa dibilang, Kerajaan Lamuri di Indrapuri, Aceh Besar, merupakan salah satu kerajaan Hindu terbesar di Sumatera.

Bukti Hindu pernah jaya di Aceh bisa dilihat di Kecamatan Indrapuri. Di sini ada Pura (tempat ibadah umat Hindu) yang kemudian disulap menjadi masjid pada masa Kesultanan Iskandar Muda.

Lalu, sejarah makanan di Aceh juga dipengaruhi oleh India. Sebut saja misalnya mie goreng, kuah kari. Bahkan, di Pidie hingga kini masih ada warga keturunan India. Perawakan mereka tegap dan hitam. Mantan Gubernur Aceh Ibrahim Hasan berketurunan India. Di Pidie, mereka tinggal di Kecamatan Simpang Tiga.

Mereka dipercayai sebagai keturunan India Kleng. Kleng artinya hitam.

Di akhir sesi, Doktor Harun bilang, sejarah harus ditulis dengan bahasa yang sederhana, mudah dipahami.

"Mau pakai bahasa dengan EYD silakan. Mau nulis dengan bahasa gaul, lu-gue, juga silakan. Asal data dan faktanya benar," imbaunya.

Intinya, jangan sampai sejarah gemilang yang ada di Aceh berubah menjadi dongeng yang melegenda. "Budaya tulis di Aceh kalah dengan tradisi tutur lisan. Kalau terus mempertahankan tradisi lisan, sejarah akan punah seiring dengan matinya pelaku sejarah," wanti Doktor Harun.

Lalu, bagaimana dengan budaya ngopi, sehingga warung kopi bertumbuhan bak cendawan di musim hujan?

Kata Doktor Harun, pada masa Belanda menguasai Aceh, penduduknya sering mengonsumsi air yang belum dimasak. Akibatnya, penyakit acap menyergap warga. Nah, seorang gubernur militer Belanda, saya lupa nama yang disebutkan Doktor Harun, memperkenalkan kopi.

Tentu, kopi yang hendak diminum harus dipanaskan dulu. Sejak itulah, minum kopi menjadi tradisi hingga sekarang ini.

Sayang, Doktor Harun hanya membongkar sedikit sejarah minum kopi di Aceh. Saya akan mencoba bertanya pada orang tua yang mengerti sejarah ini di kemudian hari.

***

JELANG pukul 22.00 WIB, mini pesta blogger+ Aceh 2010 berakhir. Sekarang sesi foto bareng. Tak semua blogger mau berdiri di depan backdrop acara. Saya dan sejumlah blogger lain tak menyia-siakan kesempatan langka ini. Ini sesi yang tak perlu diceritakan.

Usai foto bareng, saya siap-siap pulang. Namun niat ini saya urungkan begitu melihat Chaideer Mahyuddin, pengelola blog foto Mata Kaki, berbual dengan Enda Nasution. Karena saya belum kenal, baiknya saya berkenalan dengan seorang blogger terkenal.

Berkenalan dengan Bang Enda lalu mengobrol panjang. Ada juga blogger senior di Aceh, Taufik Al Mubarak. Dia blogger pungo. Kami berempat berbicara berbagai tema: mulai dari isu perkembangan blog di Indonesia hingga Aceh, isu kebebasan berekspresi, hingga isu makanan, termasuk obrolan yang tidak penting.

Yang paling saya ingat adalah pertanyaan Bang Enda tentang pengaruh komumitas blogger di Aceh. Menurut Bang Enda, politisi di Jakarta mulai mendekati komunitas blogger untuk meraih dukungan. Bahkan, tak jarang, politisi mengklaim mendulang dukungan dari komunitas blogger.

"Kalau sudah begini sudah meresahkan," risau Enda.

Di Aceh, pendekatan terhadap komunitas blogger belum dilakukan politisi. Bisa saja menjelang Pemilukada akhir 2011 nanti, ada politisi yang bakal mendekati blogger. Selama ini, politisi baru sebatas bikin blog kampanye. Itu pun tidak diupdate.

Lalu, Bang Enda menanyakan soal censorship dari penguasa. Saya bilang, hingga saat ini memang belum ada upaya pengekangan. Namun potensi ke arah sana juga ada, yaitu keinginan DPR Aceh --bersama Komisi Penyiaran Indonesia Daerah-- menyusun Qanun Penyiaran Islam. Sebelum diprotes Aliansi Jurnalis Independen Banda Aceh, qanun ini bernama Pers dan Penyiaran Islami.

[caption id="attachment_303856" align="alignright" width="300" caption="Foto: Anandita Puspitasari/Pesta Blogger"][/caption]

Qanun itu semangatnya untuk mengontrol lembaga penyiaran, termasuk menyensor konten berita/feature di televisi dan radio. AJI Banda Aceh menolak tegas kehadiran qanun ini.

Menurut Enda, ancaman kebebasan berekspresi di tingkat nasional dilakukan penguasa melalui Undang Undang Informasi dan Transanksi Elektronik.

"Kasus teranyar adalah yang menimpa Prita Mulyasari," kata Enda.

Ya, Prita diperkarakan oleh manajemen rumah sakit setelah berkeluh kesah soal pelayanan buruk rumah sakit di email. Pengadilan menyatakan Prita bersalah dan dijebloskan ke penjara. Belakangan ia dibebaskan setelah desakan massal dari blogger dan publik. Komunitas Blogger kemudian berinisiatif mengumpulkan koin dari masyarakat untuk Prita.

Pun ancaman berat, Enda tetap berpesan agar blogger terus menulis berbagai tema dan isu di blog, untuk memajukan dunia blogger Indonesia.

Bravo!!!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun