Mohon tunggu...
Feizal Karim
Feizal Karim Mohon Tunggu... wiraswasta -

Think revolutionary, Talk politely, Act progressively

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Agar "Indon" Berkonotasi Positif

24 November 2013   15:13 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:44 287
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_294185" align="aligncenter" width="300" caption="(pic: populerfashion.blogspot.com) "] [/caption] Perlakuan superior-inferior orang Malaysia dengan panggilan Indon terhadap kita tidak hanya terjadi akibat kesan buruk di kalangan bawah tapi bisa juga sampai ke kalangan atas yang mewakili negara.  Dalam agenda-agenda bilateral atau multilateral dengan Malaysia, sering delegasi kita yang jumlahnya besar dan banyak para pejabat senior termasuk kepala daerah, dipimpin oleh seorang ketua yang kurang terampil dan kurang bagus Bahasa Inggrisnya.  Padahal di pihak mereka, seorang ketua delegasi atau pejabat senior dari kerajaan negeri (setingkat provinsi kita), Bahasa Inggris dan sikap produktif dalam pertemuan sudah menjadi keharusan.

Di lain pihak, delegasi kita banyak tapi sering terkesan tidak siap untuk rapat; yang ramai adalah silent attendant.  Sementara delegasi Malaysia lebih sedikit, lebih muda-muda, terampil dan padu—apalagi delegasi Singapura.  Respek akan otomatis muncul bila pimpinan atau juru bicara delagasi kita seseorang dengan predikat super seperti Doktor atau Jenderal namun bisa performed di sidang-sidang.

Sayangnya itu jarang terjadi, seringnya kita malah terlihat bagaikan sebuah group yang sedang dalam perjalanan wisata: ngobrol dalam sidang, masih terima telepon di ruangan, keluar masuk ruangan, antusias ketika site visit atau sight seeing dan sering pula dengan pertanyaan yang naïf untuk ukuran mereka.  Tanpa peduli etika, orang kita sering pula mentertawakan istilah-istilah atau kata Melayu yang mereka pakai yang jarang didengar oleh orang yang bukan dari negeri-negeri Melayu seperti dari Riau, Kepri, Bangka-Belitung, Kalbar atau Sumatera Utara.  Paling-paling kita lebih unggul kalau pada acara farewell ada permintaan menyanyi!  Karena itu jangan heran jika belakangan ditemukan hasil perundingan yang ternyata lebih merugikan kita.

Dalam bekerja mereka juga berusaha mengkuti pakem manajemen modern.  Setiap kali pertemuan di Malaysia, panitianya sudah siap dengan agenda yang teratur dan disiplin serta konsep-konsep yang tinggal dibagikan dan langsung dilakukan updating untuk dibawa pulang.  Bahan ini juga akan jadi start awal pada rapat berikutnya bersama orang-orang yang boleh dikatakan tidak banyak berubah.  Pada prinsipnya mereka siap dengan pelayan rapat yang all out dan tahu benar bagaimana cara berunding dan memenangkan hasil sesuai yang mereka inginkan.  Nampaknya pendekatan ini juga yang mereka terapkan dalam sengketa Sipadan dan Ligitan serta Ambalat.

Ini mungkin terkesan agak berlebihan tapi itulah pengalaman subjektif banyak orang Indonesia yang terlibat pertemuan dengan koleganya dari Malaysia.  Sayangnya, bagaikan katak dalam tempurung, kita masih terperangkap pada romantika dan image lama bahwa kita lebih unggul dari mereka padahal keadaan sekarang sudah terbalik (silakan baca juga tulisan yang terdahulu di sini). Sikap kita yang terbaik adalah mari kita lihat dulu keadaan internal kita sebelum melakukan bandingan yang objektif terhadap saudara-saudara kita di Malaysia.

Kita jelas tidak suka dan prihatin ketika ada saudara yang katanya serumpun tapi menghinakan kita secara sistematis namun kita juga harus mengetahui latar belakang psikologis dan kulturalnya jika tidak mau itu terus terjadi.  Mereka tidaklah demikian ketika kita bisa menunjukkan penampilan yang representatif dan nilai-nilai intelektual yang lebih, baik dakam bahasa, tutur kata, akhlak, managerial skill, dan personal skill lainnya.  Sudah suatu sebab akibat yang normal, orang yang lebih makmur dan berpendidikan tentu akan punya tolok ukur yang ada pada mereka dalam menilai orang lain.

Untuk memperbaiki citra ini, tidak bisa kita minta mereka tang menggantinya atau merubah konotasi itu kecuali melalui upaya kita sendiri.  Untuk itu perlu kita cermati diri kita terlebih dahulu dan berusaha memperbaiki keadaan supaya kita lebih bermarwah.  Pertama, kebijakan Negara untuk mengirim TKI (baca: pembantu dan buruh!) perlu dieavaluasi dengan baik dan cermat sehingga yang berangkat ke sana bukan mereka yang unskilled labour tetapi benar-benar mereka yang skilled professional seperti nanny, housemad, babby sitter, perawat, bidan, segala macam tukang pertanian dan konstruksi bersertifikat, segala macam juru kantor yang terlatih, dan sebagainya.  Prinsipnya, semua tenaga yang kita kirim ke sana sudah punya predikat dn sertifikat profesi terampil.

Karena itu, urusan TKI ini tidak bisa lagi jadi prioritas kedua tapi justru termasuk yang diutamakan karena besar dan luasnya yang harus kita lakukan: standarisasi, pelatihan, sertifikasi, aspek keselamatan kerja, perlindungan hukum, pembekalan budaya, etika, dan akhlak, dan sebagainya sedemikian sehingga mereka memang patut disebut sebagai pahlawan devisa.  Mereka juga harus dibekali dengan pengenalan ril pada pekerjaannya dan sedikit-sedikit kemampuan bahasa Inggris.

Kedua, bila akan berunding atau mengadakan pertemuan dengan pihak Malaysia, hendaknya kita mempersiapkan diri dengan lebih baik.  Pilihlah orang-orang yang kompeten, mengerti pada urusan yang akan dirundingkan karena dirinya sudah melekat pada hal itu untuk waktu yang cukup lama, dengan dilengkapi peserta pendukung seperlunya saja.  Sebelum berangkat, semua delegasi mestinya juga sudah mengikuti simulasi perundingan dan mempelajari etika pergaulan internasional yang formal ataupun dalam berinteraksi, termasuk budaya mereka.  Kemampuan Bahasa Inggris mereka tidak cukup hanya sampai bisa menterjemahkan Inggeris-Indonesia bolak balik tapi juga faham dengan terminologi yang dipakai yang kebanyakanya tidak sama dengan terjemahan letterlijk.

Ketiga, diluar itu, kepada para wisatawan kita juga harus diberikan bekal bagaimana harus bersikap dan menjaga penampilan di sana.  Bagi sementara kalangan yang menganggap bahwa kalau ada uang bisa berbuat sesukanya, perlu diingatkan bahwa mereka tetap membawa citra Negara.  Ketika ke Malaysia, apalagi untuk urusan bisnis, sejak dari negeri kita sebaiknya sudah menggunakan pakaian yang setengah formal seperti pakai coat atau batik sehingga mengesankan kita bangsa yang berkepribadian mengikuti tata cara pergaulan internasional.

Paling tidak dengan tiga cara ini mereka akan respek pada kita.  Mereka masih memanggil kita Indon sebagaimana halnya Bangla untuk orang Bangladesh, Pinoy untuk orang Filipina, Mat Saleh untuk orang bule, dan sebagainya tidak ada masalah karena tidak ada lagi bercak-bercak atau keburukan yang menempel padanya.  Mudah-mudahan kita bisa menjadikan kata Indon itu tidak lagi berkonotasi negatif tapi setidaknya kembali netral atau kalau bisa positif seperti semula.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun