Mohon tunggu...
Feizal Karim
Feizal Karim Mohon Tunggu... wiraswasta -

Think revolutionary, Talk politely, Act progressively

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Revolusi Rohani: Belajar dari Negara Tetangga

15 Mei 2014   00:20 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:31 53
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Kebanyakan kita rasanya akan sepakat bahwa bangsa kita dalam keadaan yang tak habis-habisnya ditimpa masalah dan diungkapkan aibnya.  Bencana silih berganti, kejahatan tak habis-habis, mental korupsi makin menjadi dan sampai ke elit, dan moral bangsa makin merosot.  Berbagai usaha sudah dijalankan namun kalaupun ada, baru hanya berhasil mengangkat keadaan melalui indicator-indikator makro ekonomi.  Karena itu sudah sepatutnya kita melihatnya dari sisi pandang yang lebih luas dan lengkap.

Upaya yang kita lakukan selama ini mungkin sudah cukup baik dan dengan kerja keras.  Berbagai lembaga, aturan hukum, proses, dan bahkan reformasi telah dijalankan.  Namun kita masih merasakan banyak kekurangan kita, apalagi jika dibandingkan dengan Negara-negara tetangga yang sudah lebih efektif dan effisien dalam menyelenggarakan kehidupan negaranya. Meskipun indikator-indikator makro itu meningkat, dalam banyak hal kita harus mengakui para pemimpin kita belum dapat mewujudkan keadaan bangsa yang kita citakan.

Untuk itu perlu kita simak apa yang terjadi di Negara-negara tetangga  secara lebih spesifik tentang kualitas ideologi para pemimpinnya.  Di Malaysia yang secara kultural mirip dengan kita misalnya, meskipun para pemimpinnya punya pandangan ideologis dalam spektrum yang masih lebar namun tidaklah sampai tidak faham cara berwudhu dan shalat berjamaah yang benar.  Pencitraaan dengan pembohongan publik juga hal yang sangat tercela yang bermuara pada turunnya elektabilitas.  Tidak hanya kemampuan manajerial yang baik berlandaskan ilmu namun juga punya kompetensi sosial-budaya yang memadai sehingga memenangkan posisi politis bukan hanya dengan popularitas.

Memang semua orang punya kekurangan, keterbatasan, dan masa lalu yang mungkin tidak memuaskan kita, namun yang lebih penting adalah apa niat dan tujuan seseorang itu ingin menjadi pemimpin.  Pemimpin tidak patut dibaca sebagai posisi untuk mendapatkan kemewahan materi, kesenangan, nama besar, keuntungan pribadi atau kelompok tapi sebaliknya untuk menjawab panggilan atas kewajiban pada yang kompeten dan kapabel untuk membela serta memajukan manusia lainnya yang kebetulan warga Negara Indonesia.  Hanya pemimpin yang amanah, jujur, dan adil dalam menjalankan tugasnya yang selamat dari siksa Allah Swt di dunia dan di akhirat kelak.  Itu hanya mungkin bila seorang pemimpin mengaitkan dan mendekatkan dirinya dengan yang telah memberinya kuasa itu.

Barangkali kesadaran inilah yang telah melahirkan revolusi rohani pada seorang Sultan Brunai; ia merasa kecil di hadapan Allah dan tidak mempunyai alasan untuk terus memberlakukan hukum hudud (kriminal) buatan manusia—termasuk dengan kuasa dirinya—tanpa menggantinya dengan hukum yang telah ditetapkan oleh Allah.  Karena merasa ia menjalankan kewajiban maka ia tidak kawatir terhadap tentangan dari banyak pihak lain yang menurutnya justru banyak masalah pada diri mereka sendiri sehingga aneh bila mengkhawatirkan orang lain yang ingin menuju ke kebaikan sementara mereka sendiri justru sedang bermasalah.

Sultan Brunai juga mempertanyakan keusilan mereka karena hukum kriminal itu akan berlaku dengan ketat terhadap orang Islam dan mereka yang benar-benar terbukti bersalah.  Sementara Mufti Brunai Awang Abdul Aziz juga mempertanyakan kekhawatiran orang luar: “Apakah semua wisatawan datang ke Brunei untuk mencuri? Jika tidak, untuk apa mereka merasa takut. Semua orang, termasuk wisatawan mendapatkan perlindungan sesuai." (okezone.com)  Mudah-mudahan itu bukan karena Islamophobia dan kita doakan apa yang berlaku di Brunai ini diridhoi Allah Swt.

Jadi, jika kita tidak ingin terus tertinggal dan kelak meninggalkan generasi yang tertinggal maka kita harus segera membuat suatu lompatan besar (frog leap).  Untuk memperbaiki keadaan, sikap mental-spiritual bangsa harus diperbaiki dengan revolusi rohani. Kita harus mengaitkan segala niat, cita-cita, dan upaya kita dengan Allah Swt yang Maha Memiliki.  Tentunya itu dilakukan secara proporsional dan berkeadilan dengan memperhatikan keberagaman yang ada di Indonesia.  Itu hanya bisa berjalan bila dimulai dari para pemimpin yang mengaitkan dan mendekatkan dirinya pada Allah Sang Pemilik itu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun