Kata Revolusi Mental jadi populer sejak munculnya sebuah tulisan salah seorang calon presiden di media cetak. Yang bikin heboh antara lain itu ditulis oleh timnya dan pada hari yang sama di media cetak lain muncul pula tulisan senada dengan judul yang sama dengan penulis seorang pendeta yang diduga anggota tim suksesnya.
Terlepas dari etika penulisan, pemikiran itu dinilai belum pas karena muncul dari orang yang dinilai belum menunjukkan implementasi dari kandungan tulisannya sendiri. Seperti pendapat Direktur Eksekutif Polcomm Institute Heri Budianto yang juga akademisi Universitas Mercubuana (Kompas, 13/5/2014): "Jokowi harus memberi komitmen, dia harus memberi contoh teladan bahwa pembangunan karakter dan mental yang ditulisnya itu dimulai dari dirinya sendiri." Menurut Heri blusukan yang dilakukannya di Solo dan Jakarta belum cukup untuk skala nasional dengan masalah yang jauh lebih besar, seperti masalah korupsi yang terhadapnya komitmen Jokowi dinilainya masih minim. Bagi kita yang awam yang selama ini terpesona pada Jokowi karena rekayasa opini di media, masih belum puas akibat munculnya banyak kelemahan di sana sini.
Terlepas dari itu, sebenarnya ide ini sudah populer di kalangan para pemikir kemasyarakatan dengan nama “transformasi pemikiran”, “perubahan budaya”, atau “revolusi rohani”. Sesuai dengan arti kata, bila suatu kelompok masyarakat atau bangsa sedang terjebak dalam keadaan buruk yang sulit berubah maka memang diperlukan suatu perubahan sikap mental secara kolektif. Karena perubahan secara biasa sulit diharapkan akan merubah keadaan maka diperlukan revolusi mental itu yang mana akan lebih mudah dilakukan oleh seorang pemimpin.
Roadmap ini dalam era modern ini telah banyak dilakukan para pemimpin bangsa-bangsa seperti di India, Cina, Korea, Malaysia, Singapura, dan yang terakhir di Brunai Darussalam. Perubahan sikap mental secara drastis itu tentu selalu ada landasan filosofis dan dasar pemikirannya yang lalu dielaborasi jadi konsep-konsep implementasi yang komprehensif serta disajikan pada masyarakat dalam bentuk standar dan tolok ukur layanan dan perilaku. Sebagai contoh, revolusi mental ini telah dapat merubah masyarakat Singapura yang semula hidup di pantai dan pinggir-pinggir sungai dengan sanitasi buruk bersama ternaknya telah berubah dengan cepat menjadi modern di tangan besi seorang Lee Kwan You yang keras sehingga dijuluki sebagai seorang Positive Dictator.
Namun ternyata itu juga belum cukup karena hanya dalam lingkup materi sementara secara mental-spritual sebenarnya masih kosong sehingga muncul pula masalah-masalah krusial dalam lingkup sosial budaya. Keadaan ini juga kita temukan di Negara-negara maju lainnya yang makin hari makin memburuk.
Sebagai makhluk sosial, manusia yang tidak cukup hanya dengan ketersediaan materi sudah tidak kita ragukan lagi. Karenanya, dalam kata mental itu harus terkandung juga spiritual yang secara naluri akan dikaitkan oleh manusia kepada Sang Pencipta yang memiliki kekuatan yang Maha Menentukan, Allah Swt. Karena itu pula yang diperlukan sekarang adalah revolusi rohani karena dalam kata rohani itu sudah terkandung landasan filosofis, dasar pemikiran, dan konsep-konsep serta implementasi yang terintegrasi dan komprehensif. Di tangan seorang pemimpin yang amanah dan adil karena tunduk pada Swt lah semua ini baru dapat berjalan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H