Hujan baru saja berlalu, tapi dinginnya masih tertinggal, menyisakan gigil. Fiuh, otakku bepikir keras. Harus ada cara untuk menghangatkan tubuh. Pandangan mataku lalu tertuju pada meja di sudut kamarku. Ada sebuah pemutar CD di sana.
Aku menepuk dahi. Nyaris saja lupa, kalau sekarang jadwalnya latihan. Aku memilih-milih beberapa cakram keras yang tergeletak di meja. Jemari lentikku tergoda untuk mengambil satu sampul bergambar wajah cantik Vanessa Mae.
[caption id="attachment_378673" align="aligncenter" width="300" caption="credit: smashingpicture.com"][/caption]
Hanya dalam beberapa menit kemudian, tubuhku larut dalam alunan Devil’s Trill dari pemutar CD. Peluhku mulai menetes dari dahi. Lumayan untuk sebuah pembukaan. Tapi aku belum puas. Lagu berikutnya lebih ku suka. Sabre Dance. Lagu favoritku dengan Cleo, saudara kembarku.
Sejenak aku terdiam. Memoriku seperti memutar kembali lipatan kenangan satu tahu silam. Kenanganku saat menghabiskan waktu berdua berlatih mengejar mimpi kami jadi pasangan balerina yang terkenal. Kali ini ada yang ikut luruh dalam gemulai tubuhku yang mengikuti irama lagu. Air mataku semakin menderas tak tertahan.
Sayang, mimpi kami, ah bukan! Bukan mimpi kami, mimpiku tepatnya. Ya, mimpiku kandas dan melemparkanku di ruangan ini. Aku terus menari, meski ada hawa panas yang menyengat kelopak mataku. Panas sekali rasanya sampai dadaku terasa sesak. Aku terus berputar menari, terus......
“Selly!”
Tarianku terhenti. Bukan, bukan karena lupa. Aku hafal betul setiap detilnya. Tepat saat aku selesai melakukan atraksi salto dan jatuh dengan posisi kaki sempurna, pintu di depanku terbuka. Aku tidak jadi membungkukkan badan layaknya yang dilakukan dalam setiap pagelaran.
Aku menatap tajam ke arah pintu, seorang pria berwaja tirus dengan jas putih yang membungkus tubuhnya, Andre. Wajah pria yang kucinta dan sekaligus kubenci. Andrelah yang membawaku ke sini. Sebuah rumah sakit jiwa di pinggiran kota.
“Ayo, sudah waktunya untuk terapi!”
Aku sudah siap untuk memberontak. Tapi 4 orang perawat yang meringkus tubuhku lebih sigap. Aku hanya bisa meronta-ronta dan meracau kesal. Selarik aroma khas menguar, aku kenal pemilik aroma musk ini. Juga kenal suara seorang perempuan berbicara dengan Andre yang berjalan di belakang, mengikuti perawat yang membawaku ke bangsal isolasi. Cleo, saudara kembarku!
“Aku harus terbang ke Wina malam ini, Andre. Titip Selly, ya.”
*336 kata*