Mulai sore hari  tadi kami pergi ke pusat kota yang berjarak tujuh kilometer dari tempat kami tinggal.
Suasana jalanan sudah biasa di daerah kami yang meskipun termasuk pinggir,adalah daerah  yang lumayan macet di jam-jam tertentu.Terkadang juga agak-agak geli menyadari bahwa pikiran beberapa orang ternyata sama,mengambil jalan alternatif,ternyata sama saja,semua berfikir mengambil jalan alternatif,namun lumayanlah daripada kemacetan di perempatan ring road yang sedang di bangun fly over.
Lah kami lupa bahwa malam ini adalah malam  tahun baru satu muharam 1441 H.Kalau untuk di tempat kami ada istilahnya malam satu suro.
Malam satu suro seperti tahun-tahun sebelumnya ,ada ritual Mubeng Beteng.Mubeng beteng artinya mengitari seluruh keliling dari luar beteng kraton.
Pada tahun  saya ini tidak mengikuti,tetapi tahun kemarin mengikuti acara mubeng beteng yang dimulai pada jam nol-nol.
Sebelumnya ada semacam upacara dan beberapa sambutan,lalu mulailah berjalan kaki dengan tanpa bicara sedikitpun sepanjang perjalanan.
Ada yang berjalan dengan egrang.Bahkan saya sempat berfoto dengan seorang bapak yang  pernah memakai egrang dari Yogya Jakarta.
Kekhusukan jelas terlihat saat berjalan kaki,ada yang nyeker(tanpa alas kaki),ada yang meninggalkan sandal jepitnya di jalan karena putus.Para penonton di pinggir jalan yang tidak ikut mubeng beteng juga ada,tidak ada suara orang bercakap-cakap karena syaratnya Topo Mbisu( Membisu,tak berbicara).
Acara selesai sekitar jam setengah dua.Ritual untuk nguri-uri atau melestarikan budaya dan sudah diakui sebagai warisan budaya.
Peminatnya banyak sekali,bukan hanya orang lokal,tetapi juga para wisatawan .
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H