Tiga-kosong demikian skor akhir final leg pertama Indonesia lawan Malaysia di Stadion Bukit Jalil, Malaysia.Sontak kekalahan telak tersebut menjadi issu utama di berbagai media. Tak terkecuali jejaring sosial seperti twitter dan facebook. Berbagai ragam luapan kekecewaan ditumpahkan begitu saja sebagai status. Dari yang masih mengedepankan empati, memperhatikan kesopanan, hingga menampakkan keeogisan dan melupakan kesopanan sama sekali.
***
Sebenarnya, kekalahanhanyalah konsekuensi dari sebuah pertandingan disamping kemenangan. Siapapun menyadari itu. Cukup sebenarnya untuk menerima sebuah kekalahan jika telah mengetahui dan menyadarinya sebagai konsekuensi bertanding. Hanya saja seringkali sebuah ekspektasi yang melangit saja masalahnya. Sehingga agak berat dikesudahannya menerima sebuah kenyataan bernama kekalahan.
Terlepas dari itu, tanpa hanya membatasi pada sebuah pertandingan sepak bola antar dua negara bangsa, ada pelajaran yang penting untuk kita petik. Bahwa apapun hasilnya, terlebih dahulu ada proses yang melahirkannya. Sebuah hukum alam yang tidak bisa untuk tidak dipandang.
Kemenangan ataupun kekalahan, yang layak untuk mengecapnya adalah mereka yang terlibat dalam proses kelahirannya. Rasa manis kemenangan tentu hanya dapat dimaknai oleh para peraihnya; mereka yang bergelut dengan proses merengkuhnya. Begitu pula betapa pahitnya kekalahan dikecap oleh mereka yang bertarung dalam prosesnya. Lalu sekian banyak mereka yang mengumbar caci, keluh kesah, atau terbawa euforia hanyalah penonton. Mereka yang sekedar melototi perjuangan yang bertaruh menang atau kalah. Apa layak memaknai kemenangan dan menerima kekalahan?
Dalam apapun, kuantitas orang yang mau terlibat dalam sebuah perjuangan lebih sedikit ketimbang orang yang acuh tak acuh. Bahkan di antara dua pihak yang saling bergumul untuk merengkuh kemenangan atau menerima kekalahan, golongan terbesar adalah pihak yang tidak terlibat dengan pergumulan tersebut. Sekalipun yang menjadi “taruhan” dari pergumulan itu adalah kebenaran. Sebuah kata yang menjadikan kemenangan begitu penting.
Setiap pergumulan, pergulatan, pertarungan atau perjuangan tidaklah mudah. Bahkan menjadi keniscayaan untuk menyuguhkan pengorbanan untuk sebuah hasilnya. Hal yang sulit dimengerti oleh orang yang tidak terlibat –sama sekali- di dalamnya. Dan yang membuat mereka menjadi paham adalah ketika sebuah hasil tertampak sebenderang matahari di depan mata.
Seperti perjuangan untuk menerapkan Islam secara kaffah dan menghadirkan khilafah Islam. Tidak sedikit –bahkan dari umat Islam sendiri- yang menganggap cita-cita itu utopis. Hal yang dapat dimaklumi sebagai akumulasi dari kemunduran berpikir umat Islam yang berlangsung sejak lama. Dapat dimaklumi juga betapa sekarang berbagai upaya dilakukan untuk terus membodohi umat Islam. Namun seperti kata An Nabhani, “Daulah Islam bukanlah khayalan seseorang yang tengah bermimpi, sebab telah terbukti memenuhi pentas sejarah selama 13 abad. “Keberadaan Daulah Islam juga merupakan sebuah kenyataan di masa lalu dan akan menjadi kenyataan pula di masa depan, tidak lama lagi. Sebab, faktor-faktor yang mendukung keberadaanya jauh lebih kuat untuk diingkari oleh jaman atau lebih kuat untuk ditentang”. Terlepas dari itu, adalah sebuah konsekuensi keimanan kita pada Allah dan RasulNya, untuk menjadikan Islam secara menyeluruh sebagai satu-satunya tuntunan mengelola kehidupan. Wallahu’alam.[]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H