Mohon tunggu...
Fadlan Hidayat
Fadlan Hidayat Mohon Tunggu... -

belajar menuangkan pikiran;

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Jujur (Terdedikasikan untuk Siami & Siami lainnya)

18 Juni 2011   00:45 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:25 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

JUJUR itu hebat! Begitu slogan yang dikenalkan oleh Koalisi masyarakat pendukung Ibu Siami. Akhir-akhir ini nama "Siami" seakan menjadi ikon kejujuran di tengah maraknya kebohongan dan tipu-menipu di negeri ini. Siapa Siami? Ya, betul. Beliau adalah Ibu dari Alif siswa di SDN Gadel II yang dicontek oleh kawan-kawannya. Alif berkeluh, Siami pun lantas melaporkan peristiwa sontek masal yang dialami oleh anaknya di sekolah. Kejujuran Siami yang bernyali membongkar praktek tidak terpuji tersebut mengundang apresiasi dan simpati. Tentu saja, di samping itu Siami juga menerima konsekuensinya, dia mendapatkan kecaman dari pihak yang tidak menyukai kejujurannya, bahkan dia "mengungsi" dari tempat tinggalnya sendiri.

***

Selama ini memang, jujur apalagi membongkar ketidakjujuran ujian atau sejenisnya bisa dikatakan tabu. Kita bisa saja dikatai, "Sok alim kau?!", atau "Ah, asosial, egois kau ini!", dan lain-lain yang sejenisnya. Secara normatif, jujur memang diakui sebagai perbuatan yang terpuji. Tidak ada yang menolak itu. Orang yang tidak jujur sekalipun mengakuinya. Tentu saja di saat dia sedang tidak berbuat curang atau tidak berbohong. Banyak yang mengemukakan bahwa kejujuran itu penting bahkan berharga. Namun tidak sedikit pula yang berpendapat demikian agar tidak dikatakan menolak kejujuran. Hal ini bukan potret yang asing lagi bagi kita. Telah banyak dan sering kita mendengar, bagaimana uang bisa mengubah amanah menjadi khianat, benar disalahkan, salah dibenarkan, jahat jadi baik, baik jadi jahat, jujur dianggap dusta, dan dusta disebut jujur. Tetapi bagaimana lagi, kita nyaris selalu diajarkan dengan ketidakjujuran. Para elit pemerintahan tidak pernah malu berjanji meski khianat. Pihak yang berada di atas juga selalu berusaha menutup-nutupi kebenaran demi kebenaran. Kita pun juga tidak menutup kemungkinan pernah melakukan kebohongan. Jujur menjadi sangat berharga kala ketidakjujuran menawarkan bermilyar-milyar bahkan trilyunan rupiah dan tahta. Jujur menjadi begitu terpuji, ketika beragam antipati; celaan, kecaman, ancaman dan siksaan membayangi. Mengenai penting dan berharganya kejujuran, Imam Ali mengingatkan kita, bahwa memiliki seorang sahabat yang jujur lebih besar harganya daripada harta benda yg diwarisi nenek moyang. Kejujuran kita, tentu bukan soal kepentingan atau manfaat kejiwaan atau hal lainnya. Juga lebih dari sekedar moral tentang bagaimana memperlakukan kejujuran. Kejujuran kita lebih dari dimensi profan, karena kejujuran tidak lain konsekuensi iman. Semoga kita tidak berada di pihak yang mengecam kejujuran apalagi memusuhinya. Kita berharap, berlatih dan berupaya agar tidak turut menjadi pendusta yang menutup-nutupi bahkan mengubur kebenaran. Karena kita percaya jujur akan bersama kebaikan. "Jujurlah kalian karena kejujuran akan bersama dengan kebaikan, dan keduanya akan ada di surga", demikan tutur Rasul saw (HR. Ibnu Hibban).[] 180611

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun