Antara tergesa-gesa, malas dan dengki. Barangkali begitulah kita melihat penilaian prematur media-media Barat ketika terjadi pembantaian di Norwegia (22/7). Betapa kemudian terbukti pelaku pembantaian ternyata seorang fundamentalis Kristen, Andres Behring Breivik. Penghakiman dini media-media terhadap Islam itu pun salah telak.
Seperti yang diberitakan dalam laporan di detiknews.com yang berjudul, Pembantaian di Norwegia, Antara 'Teroris' & Tudingan Prematur Terhadap Muslim, media seperti The Sun, The Washington Post, Wallstreet Journal memuat analisis bahwa para radikalis Muslim ada di balik serangan teror di Norwegia. Bahkan ketika pelaku sebenarnya terungkap dan meleset dari prediksi, The Washington Post (TWP) misalnya tetap saja mempublikasikan berita dan analisis terkait di situsnya tanpa ada koreksi. Padahal telah lebih dari tujuh jam sejak identitas pelaku sebenarnya terbongkar. Sikap tak acuh inilah yang membuat James Fallow, penulis Amerika, meminta TWP meminta maaf terhadap Umat Islam (islamtoday.net, 25/7/2011).
Islamophobia
Sebenarnya apa yang diperlihatkan oleh media-media Barat tersebut memiliki kesamaan dengan motif pelaku teror Si Breivik. Kesamaan itu bernama Islamophobia. Pernyataan Breivik yang menegaskan ketidaksukaannya terhadap Islam, termasuk pihak yang mentoleransi Islam mengungkapkan kebencian itu. Breivik mengirimkan dokumen sebanyak 1.518 halaman via email ke teman-temannya hanya beberapa jam sebelum ia melakukan penyerangan terbrutal di Norwegia itu. Dia mendesak orang lain untuk mencotohnya dengan membunuh setiap orang yang menoleransi Islam (detiknews.com, 25/07/2011).
Islamopohbia ini dihembuskan oleh elit politik Barat atau tokohnya yang anti Islam lewat corong media-media Barat. Dalam bahasa lainnya, media menjadi alat propaganda menjalankan misi pendemonologian (penyetanan) Islam. Dalam buku Menguak Tabir Terorisme Internasional (1991), Chomsky mengartikan demonologi sebagai suatu perekayasaan sistematis untuk menempatkan sesuatu agar dipandang sebagai ancaman yang menakutkan. Melalui medialah penyetanan Islam disebar dan mewabah. Buah dari penyetanan Islam oleh media ini selanjutnya adalah Islampohobia.
Barat melalui penguasanya menggiring warganya untuk memandang Islam sebagai sesuatu yang buruk dan jahat sehingga harus dijauhi dan dimusuhi. Sekaligus tetap meyakinkan warganya bahwa peradaban Barat adalah yang superior dan harus dijaga.
Islamphobia terutama yang dialami oleh Barat disebabkan oleh kebencian. Namun juga bisa berasal dari pandangan yang keliru terhadap Islam. Padahal bagi siapa saja yang mendalami Islam, maka akan menemukan bahwa Islam merupakan sebuah jalan yang salah satunya bertujuan untuk memanusiakan manusia.
Bagaimana memperlakukan manusia secara adil sebagai warga negara misalnya. Bahkan pada masa Islam diterapkan oleh sebuah pemerintahan, kaum non muslim pun mendapatkan haknya dalam beribadah dan sebagai warga negara (ahl dzimmi).
Islam juga memberi perlakuan terhadap perempuan dengan begitu “cantik”. Ada cerita singkat yang menarik terkait hal ini. Suatu ketika orang non Muslim bertanya pada seorang Muslim, “Mengapa Islam melarang laki-laki menyentuh perempuan yang bukan mahramnya?”. Si Muslim lantas bertanya balik, “apakah Lu bisa menyentuh atau mencium tangan Ratu Elisabet?”. “Tidak”, jawab si non Muslim.“Begitulah, Islam sangat menghargai dan menghormati perempuan tanpa membedakan status sosialnya”.
Banyak lagi peraturan Islam lainnya yang luhur. Banyak lagi dari peraturan yang luhur tersebut perlu diketahui dengan dalam dan berjiwa besar. Sebabnya kalau saja masih menggunakan kaca mata yang penuh kedengkian, kebaikan apapun seperti kentut lewat saja.
Kepentingan di Balik Pensetanan Islam
Chomsky mengatakan bahwa pencitraan buruk terhadap Islam merupakan usaha Baratuntuk menata dunia menurut kepentingannya. Pada kelanjutannya, pencitraan buruk terhadap Islam bertujuan menjaga kepentingan dan higemoni Barat seperti AS. Hal yang ditakutkan oleh Barat karena Islam akan mengganggu higemoninya di negeri-negeri Islam dan dunia.
Kalangan umat Islam yang menolak higemoni Barat di negeri-negeri Islam, serta berjuang menerapkan Islam dengan menyeluruh akan mendapatkan stigma sedemikian rupa. Bahkan dengan menciptakan opini publik akan bahaya kalangan yang memperjuangkan Islam, Barat dan anteknya mendapat justifikasi untuk memberangus gerakan politik Islam tersebut. Seperti kebijakan perang global melawan terorisme.
Sementara sekarang kita menyaksikan, bahwa dengan higemoni Barat hampir di segala bidang, umat Islam mengalami kemunduran dan keterpurukan. Bahkan tidak saja umat Islam, umat manusia secara keseluruhan mengalami hal yang sama. Pada sisi moral misalnya, pergaulan bebas sudah sedemikian kritis menjangkiti generasi muda. Pada saat yang sama, peredaran pornografi dan penampakan pornoaksi justru sulit dibendung. Walhasil penyakit menular seks nan mematikan semacam HIV/AIDS juga bukan berkurang, tetapi malah tumbuh subur. Begitu juga aspek kehidupan lainnya.
Barat: AS dan sekutunya juga seperti “Tuhan” bagi para penguasa di negara dunia ketiga. Kebijakan negara-negara kecil digiring untuk berkliblat pada kebijakan Barat. Demi kepentingan Barat. Walau mesti mengorbankan rakyat dan kedaulatan negara sendiri. Kalau lah tidak apa yang terjadi? John Perkins telah memberitaukan kita pada buku “Pengakuan Preman Ekonomi”-nya.
Menjaga Akal Sehat
Hal yang penting untuk kita renungkan, bahwa selama ini kita mendengar persamaan derajat, hak asasi manusia, dan anti penjajahan dari Barat. Namun dari Barat pula kita menyaksikan sikap yang berseratus delapan puluh derajat dengan seruannya.
Kita melihat di Barat kebebasan umat Islam menjalankan agamanya dibatasi, distigmatisasi bahkan dikriminalisasi. Bagaimana bisa Barat meminta kaum muslimin menghormati cara berpakaian Barat yang terbuka, tetapi Barat tidak bisa mentoleransi, bahkan mengkriminalisasi kewajiban para muslimah menutup aurat?
Bagaimana bisa Barat berprasangka buruk terhadap umat Islam, sementara justru Barat dengan terang benderang menjajah dan mendukung penjajahan di negeri-negeri Islam? Bagaimana bisa Barat meluncurkan persamaan derajat keluar dari mulutnya, sementara mereka juga mendemonologikan Islam semata menjaga kepentingan dan higemoni Kapitalisme Sekulernya?
Wah...wah, kalau demikian bukan maling teriak maling lagi. Tetapi setan teriak setan. Setan yang tidak ngaku dirinya setan.[]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H