Di Surabaya (14/5) Supardi (26 tahun) menggorok leher ibu kandungnya sendiri, Iyah (60 tahun). Peristiwa tersebut kian menunjukkan bahwa keluhuran perilaku manusia bagaikan di titik nadir. Demoralisasi dan dehumanisasi semakin menyeruak di hadapan mata kita. Setiap hari kita disuguhkan pewartaan tentang demoralisasi dan dehumanisasi.
Demoralisasi atawa dehumanisasi hadir dalam rupa sadisme. Sadisme yang seperti telah lekat dengan kehidupan kita saat ini. Sadisme yang sambung menyambung. Pembunuhan seperti tidak tabu lagi dilakukan. Nyawa seakan menjadi begitu murah dan tiada nilai dan harganya. Pembunuhan pun tidak asing lagi di dengar oleh telinga-telinga kita. Meski tetap tidak hentinya membuat kita bergidik.
Bagaimana nurani kita ketika ada seorang anak yang merenggut nyawa orang tua kandungnya? Suami tega membunuh isterinya, atau sebaliknya. Bagaimana juga dengan pembunuhan disertai memutilasi anggota tubuh korbannya. Atau pembunuhan yang membakar jasad korbannya untuk menghapus jejak pelakunya. Semuanya sungguh mengusik hati nurani. Sampai jadi mayatpun, manusia tidak menghormatinya.
Rupa lain dari demoralisasi yaitu pemuasan syahwat oleh manusia hingga menurunkan derajatnya kepada derajat binatang. Pemerkosaan tidak lagi dilakukan oleh orang-orang dewasa dan remaja. Anak kecil sekalipun sekarang telah kuasa untuk melakukan tindakan laknat tersebut. Betapa hancurnya moralitas hari ini. Betapa leburnya kemanusiaan, yang membuat manusia terjun bebas ke jurang kehinaan.
Mereka yang telah tercebur dalam tingkah laku demoralisasi dan dehumanisasi seperti telah kehilangan malu. Kehilangan malu menjadikan mereka tidak segan lagi, tidak takut lagi. Bahkan bisa saja telah kehilangan malunya.
“Idza lam tastahyi, fashna’ maa syi’ta”.“Jika kalian tidak memiliki malu, maka berbuatlah sekehendak kalian”(Hr. Bukhari). Rasul saw secara tegas berseru agar jangan sampai kehilangan rasa malu. Ketika manusia telah berlaku sekehendaknya, maka ia pun menerima konsekuensi perbuatannya. Apa yang sekarang sedang dialami oleh bangsa ini, badai demoralisasi dan dehumanisasi terjadi karena diantara kita telah kehilangan malunya. Sementara malu sendiri adalah sebagian dari iman.
Apa yang terjadi tentu ada stimulusnya. Di antara kita mungkin telah tahu bagaimana perilaku yang tidak bermoral dan tidak manusiawi itu tumbuh. Ibaratnya di negeri ini berdiri mesin demoralisasi atau dehumanisasi yang mencetak pribadi-pribadi tidak bermoral dan tidak manusiawi. Mesin itulah yang mengirim pemikiran yang mengalineasi Tuhan dari kehidupan –sekularisme-, serta pemikiran berderajat hewani – liberalisme-, yang berkembang dalam ekosistem demokrasi. Mesin itu akhirnya menghilangkan rasa malu pada saudara-saudara kita. Sehingga jadilah mereka berbuat sekehendaknya; tanpa menimbang nilai moral, nilai kemanusiaan, dan keberimanan mereka lagi.
Sangat disayangkan ketika mesin demoralisasi dan dehumanisasi itu dipelihara. Dipelihara hanya karena mendatangkan sekedar ‘manfaat’ materil bagi segelintir pihak. Sementara mesin demoralisasi-dehumanisasi terus bekerja, bagai badai yang siap mengamuk dan menerjang siapa saja.
Bangsa ini adalah bangsa yang beragama, bangsa yang memiliki keimanan pada Tuhan Yang Maha Esa. Namun karena sekulerisme, maka sebagian dari kita mengalineasi Allah swt dalam kehidupan. Karena liberalisme, maka sebagian dari kita beba s berbuat sekehendaknya.
Pembunuh mengakui adanya Tuhan, namun karena mengalineasi Tuhan maka ia tidak takut membunuh atau memutilasi. Pezinah mengakui adanya Tuhan, namun karena ia memisahkan perintah dan larangan Tuhan dalam hidupnya, maka ia berani berzina, berani lakukan perkosaan. Hal yang sama juga terjadi pada koruptor.
Bangsa ini sebenarnya sudah memiliki solusi. Namun solusi itu hanya terhenti pada seruan-seruan. Keimanan yang ada pada negeri ini adalah solusi tersebut. Menjadi manusia yang beriman pada Allah swt, sebenarnya adalah menjadi manusia yang membuat manusia lain selamat dengan lisan dan tangannya. Manusia beriman adalah manusia yang menyelamatkan, bukan membahayakan, menimbulkan malapetaka.
Bangsa ini sudah membina penduduknya dengan keimanan. Di madrasah, sekolah, mesjid, dan tempat-tempat lainnya bergema seruan-seruan kebaikan. Namun entah kenapa, bangsa ini juga mempersilakan mesin keburukan, mesin demoralisasi-dehumanisasi berdiri kokoh di dalamnya. Bahkan mesin keburukan itu disokong penuh oleh mesin globalnya. Mesin keburukan ini karena banyak duitnya, berhasil menyedot pribadi-pribadi yang di KTPnya beriman ikut berkomplot menjalankan mesin demoraslisasi dan dehumanisasi dengan tersistem. Sehingga keimanan yang ada di negeri ini tidak hidup secara komunal.
Dalam kaidah Allah swt pada Surah Ar Ruum ayat 40, berbagai keburukan dan kerusakan yang disebabkan oleh kemaksiatan manusia sendiri. Kemudian akibatnya ditimpakan kepada kita agar kita kembali pada pedoman Allah swt, “La’allahum yarji’uun”. Kembali secara menyeluruh.Bangsa ini wajib mengejawantahkan keimanan di negeri ini secara komprehensif.
Pengejawantahan iman tidak sekedar di tempat ibadah, tapi juga ditempat mana saja manusia menjalani kehidupannya. Iman hidup di dalam jiwa-jiwa manusia Indonesia secara kolektif. Bukan hanya dipraktikkan oleh alim ulama, tetapi juga penguasa, pejabat, dan rakyat biasa.
Pengejawantahan iman demikian yang menghidupkan rasa malu secara tersistem pada penduduknya. Iman yang lalu membuat penduduknya malu untuk membunuh, memutilasi, dan memerkosa. Bahkan juga malu untuk menipu, korupsi dan kemaksiatan beragam lainnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H