Mohon tunggu...
Fadlan Hidayat
Fadlan Hidayat Mohon Tunggu... -

belajar menuangkan pikiran;

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Toleransi (Jangan) Kaca Mata Kuda

6 Juni 2012   16:17 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:19 221
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Indonesia yang tidak toleran. Begitu pesan yang secara eksplitis diikatakan oleh negara-negara dalam Dewan HAM PBB, pekan kemarin. Kehidupan beragama Indonesia dinilai buruk. Kebebasan beragama dinayatakan dalam ancaman. Alasan itulah yang membuat sebanyak 74 negara mengevaluasi isu toleransi beragama pada indonesia melalui Proses Universal Periodic Review, Dewan HAM PBB, dalam sesi ke-13 di Jenewa (mediaindonesia.com, 24/5/12).

Ada yang seiya dengan penilaian tersebut, ada pula yang tidak sepakat. Pihak yang seiya mengangguki, bahwa benar ada ketidaktoleranan di Indonesia ini. Telunjuk mengarah pada sebagian kelompok –mengarah pada ormas Islam-- yang dikatakan sering mengganggu dan melanggar kebebasan beragama. Penggagalan diskusi buku Irshad Manji di Salihara berikut penolakan umat Islam dan ormas di tempat lainnya, juga penolakan Lady Gaga merupakan kasus teranyar untuk menunjuk pelanggaran kebebasan.

Sebelumnya tentu ada kasus Ahmadiyah, dan aliran sesat lain macam Lia Eden, dsb yang telah dinyatakan bersalah karena menyimpang sekaligus penodaan terhadap akidah umat Islam. Di samping itu ada kasus sengketa gereja di beberapa tempat. Kasus-kasus inilah yang dalam penilaian tertentu telah melanggar kebebasan ditunjuk oleh pihak yang sepakat. Survei CSIS belakangan seakan membetulkan bahwa tingkat toleransi yang rendah.

Namun bukan berarti tidak ada suara yang mengkritisi penilaian intoleransi beragama di Indonesia. Tokoh-tokoh dari umat Islam seperti KH Hasyim Muzadi, Jusuf Kala, serta tokoh ormas Islam lain-lain pun menepis pernyataan intolerannya indonesia. Penilaian tersebut bahkan dianggap sebagai tudingan yang tidak tepat. KH Hasyim Muzadi menyebut penilaian adanya intoleransi beragama di Indonesia berasal dari laporan oknum di dalam negeri.Bagi pihak-pihak yang opurtunis, isu toleransi beragama memang dijadikan komoditas untuk meraih pundi-pundi materi. Dengan adanya intoleransi maka pihak-pihak tertentu itu mengerima gelontoran dana guna mengadakan pembinaan toleransi beragama. Tentu saja dengan toleransi persfektif Barat. Toleransi kaca mata kuda.

Kalau negara luar memvonis negeri ini intoleran, mari dudukkan perkaranya dengan kaca mata kenyataan. Bukan kaca mata kuda.

Kalau yang dimaksud toleransi adalah menghormati kebebasan menjalankan agama, maka mari lihat. Di indonesia, sekalipun mayoritas muslim, lihatlah, setiap hari besar keagamaan, di sini libur. Bukan hanya hari besar keagamaan umat Islam. Silakan lihat dan pelototi kalender yang ada di sini, Indonesia. Di negara Barat? Apakah ada hak bagi umat Islam untuk mendapatkan hari libur untuk merayakan hari besarnya?

Mari lihat, di sini pertumbuhan pembangunan tempat ibadah Kristen dan Protestan pesat. Lebih meningkat daripada pembangungan tempat ibadah umat Islam. Kalau ada terdengar nyaring sampai ke beranda internasional, ada umat non Islam yang beribadah di trotoar, itu kehendak mereka. Pihak pemerintah daerah terkait sudah menawarkan dan menyediakan bangunan lain.

Apa? Oh, karena di daerah itu umat Islam menolak pendirian gereja, lantas itu tidak toleran? Kalau begitu bagaimana dengan di daerah lain, yang juga dipadati oleh umat non Islam. Umat islam di daerah tersebut bahkan sulit mendapat izin mendirikan tempat ibadah. Dan itu tidak pernah ribut-ribut.

Baik, sekarang lihat di negeri sana, di negeri yang menuding di Indonesia tidak toleran. Mari lihat, di beberapa negara –Swiss termasuk, ada larangan keras membangun kubah (bagian atas) mesjid. Di negara-negara Barat, umat Islam beribadah di gedung-gedung biasa, di antaranya gereja yang dimodifikasi menjadi mesjid. Begitulah, saking sulitnya mendirikan mesjid. Belum lagi ada larangan keras membunyikan adzan dengan pengeras suara. Padahal adzan panggilan untuk shalat kepada umat Islam.

Bagaimana pula dengan tindakan kriminal orang Barat pengidap islamofobia akut terhadap muslimah berjilbab dan berkerudung? Bahkan dengan nama yang berbau Muslim pun. Bahkan kitab suci umat Islam pun tak luput, dengan merasa mewah pula dipropagandakan untuk dibakar.

Jadi, toleran-intoleran tidak bisa begitu saja disematkan pada umat Islam di Indonesia. Apalagi dengan menggunakan toleransi dalam kaca mata kuda.

Jadi, siapa yang berhak untuk menyandang gelar sebagai intoleran? Jangan pakai kaca mata kuda.[]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun