Tiga atau empat tahun mungkin bukan waktu yang singkat bagi sebagian orang dalam mengenang suatu momentum kelam. Beratnya deraan nestapa lantaran pandemic serta kondisi yang tidak mengenakkan seperti itu tentu tidak mudah dilupakan.
Paling tidak, hal itu terlihat pada pengujung 2019 lalu kala pandemi Covid-19 mulai menjadi momok masyarakat dunia.
Perlahan tetapi pasti, virus yang diklaim berasal dari Wuhan Tiongkok itu kian menggorogoti tatanan ekonomi dan kesehatan dunia. Hal itu sontak menjadi 'badai' yang meluluh-lantakkan nyaris semua negara di dunia.
Kendati demikian, seperti kata pepatah 'badai pasti berlalu', begitu pulalah yang terjadi dan sebagaimana adanya ketika pandemi mulai menyurut.Â
Puncaknya, pada 5 Mei 2023 lalu Organisasi Kesehatan Dunia atau World Health Organization (WHO) telah mencabut status darurat Covid-19 dan hal itu tentu disambut euforia.
Pasalnya, maklumat WHO tersebut merupakan momentum yang paling ditunggu dan dinanti-nantikan masyarakat dunia, termasuk daerah paling terdampak di Indonesia yaitu Provinsi Bali.
Tentu beralasan, mereka sudah merasa terlalu lama dikungkung pembatasan-pembatasan sosial dalam beraktivitas, terutama kegiatan berbisnis. Interaksi bisnis yang stagnan bukanlah perkara remeh sebab pandemi Covid-19 membawa dampak destruksi yang signifikan terhadap semua aspek perekonomian.
Ini termasuk pariwisata mengingat Bali merupakan destinasi wisata utama di Indonesia. Saat pandemi, larangan bepergian dan ketakutan terhadap penyebaran virus membuat jumlah turis mancanegara maupun domestik menurun drastis.
Seiring hal tersebut, para pakar ekonomi terkait menakar dampak destruksi menggunakan metode kualitatif dan data sekunder dalam diskusi webinar antarkomunal dan pemerintah, khususnya Gugus Tugas Covid-19.
Mereka mengulas aspek-aspek pemulihan dan mempublikasikannya pada berbagai media seperti siaran televisi, makalah dan buku, artikel serta media-media daring.