Senandung itu senantiasa ia lantunkan
dalam setiap derit roda gerobak yang menyusuri jalan-jalan bisu
ketika mentari masih enggan menyembulkan wajahnya di fajar hari
dan ketika rembulan, yang satu-dua kali  menyapanya dalam birama lawas
"Selamat malam, para Papa yang menjalani takdir dalam kepapaan!"
Senandung itu tak pernah membisu
kendati jalan beraspal gulita selalu membisu
diam dalam keheningan yang samar,
dan sesekali berujar dalam lafaz yang sama
"Selamat beraktivitas (di waktu para puan dan tuan beristirahat),
hei para Papa yang tak pernah keluar dalam kepapaan!"
Senandung itu dan ritme konstan yang patah-patah
dari roda gerobak para Papa
adalah rutinitas yang menjenuhkan
karena mentari, rembulan, dan aspal pun sudah bosan menyapanya
ketika suatu hari, suatu waktu menghardiknya
"Kapan kau diam dan tak mengganggu kami lagi dengan derau derit roda gerobakmu?"
Tapi para Papa terus saja berjalan menyusuri kota yang bingar
di antara selaksa gergasi beton bertingkat yang dihuni para elite
tak ada respons, cuma secuil senyummu melukiskan sesuatu yang satire
kendati tak kau ucapkan sepatah kata pun
Jauh di lubuk hati para Papa
ada senandung kecil yang melantun seiring derit gerobak usang
: dua anakku masih perlu menyambung nyawa!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H