Kasus demi kasus tentang kisah tragis para TKI (Tenaga Kerja Indonesia), sang pahlawan devisa negeri ini semakin menjadi. Perlakuan yang tidak manusiawi sampai pada tindak keji pembunuhan telah menjadi back story tersendiri di balik kisah-kisah sukses mereka. Perbudakan, begitulah kata-kata yang pas untuk menggambarkan tentang apa yang telah dilakukan oleh para majikan dari negeri seberang terhadap para TKI, saudara kita sendiri. Bukan hanya terjadi di satu negara arab tetapi di negara tetangga kita sendiri juga terjadi hal-hal yang demikian, ketidakmanusiawian. Arab Saudi menjadi negeri Timur Tengah yang paling banyak dikunjungi sebagai tempat berlabuhnya jiwa-jiwa para pahlawan devisa. Mereka pahlawan, kawan! Sudah seharusnya mereka mendapat perlakukan dan perlindungan maksimal dari pemerintah negeri ini. Bukan tim ecek-ecek yang yang harus turun tangan untuk mengatasi permasalahan yang tengah menjadi trending topic ini. Tidak, saya tak mau bersikap terlalu menyalahkan pemerintah. Negeri  seribu pulau yang elok akan alamnya ini tak butuh orang  seperti itu. Satu tindak nyata harus menjadi prioritas kita. Tak haruslah kita menunggu Ruyati-Ruyati lain yang bernasib sedemikian tragis. Tak perlulah kita hanya bisa duduk di depan TV menyaksikan berita yang begitu sukses menaikkan tekanan darah karena merasa harga diri negeri ini tengah direndahkan sampai ke titik nadir. Kita butuh aksi, volunteer, sukarelawan yang bersedia turun tangan ikut membantu menyelesaikan rantai problematika yang rumit ini. Rantai lingkaran setan yang ujung-ujungnya adalah pendidikan. Lalu siapa sukarelawan itu? Tanpa saling tunjuk, siapa lagi kalau bukan kita bersama?
Saya sering mendengar cerita dari para tetangga yang katanya sukses sepulang dari Arab Saudi dan Malaysia. Kondisi perekonomian yang menyedihkan memaksa mereka untuk beranjak mengais rizki ke negeri seberang. Bertahun-tahun mereka bekerja keras, terpisah jauh dari keluarga di kampung halaman. Anak mereka yang masih haus akan kasih sayang dengan terpaksa harus mereka tinggalkan. "Baik-baik di rumah ya Nak, Ibu akan pulang membawa uang banyak!", begitu kira-kira para Ibu memberikan kata perpisahan kepada anaknya. Ada yang lebih parah lagi. Di saat seorang bocahbaru saja melihat dunia ini selama kurang lebih 3 tahun, ia harus melupakan belaian hangat dari ibunya yang katanya hanya untuk sementara waktu. Parah, si bocah menjadi korban kemiskinan. Memang ada dari mereka, para TKI yang sukses dengan bergelimangan harta. Rumah asal jadi mereka yang semula terlihat sangat menyedihkan bisa tersulap indah bak istana kerajaan. Tetapi itu sekelumit kisah para TKI. Di balik itu, coba tanyakan bagaimana mereka diperlakukan di negeri orang?
Dalam suatu diskusi di kampus tentang permasalahan ini pernah ada teman yang bercerita tentang keadaan paman dan bibinya sewaktu berkunjung di Arab Saudi. Paman teman saya adalah seorang bule sementara istrinya orang Indonesia. Mereka sedang berlibur ke luar negeri dan akhirnya singgah di negeri Timur Tengah ini. Dengan kondisi keuangan di dompet yang mulai menipis, mereka memutuskan untuk mengambi uang di Bank sana. Perlakuan dari petugas mulai terlihat berbeda. Paman teman saya, yang orang bule mendapat perlakuan yang istimewa saat mengambil uang dari rekeningnya. Sementara giliran istrinya, sikap acuh mulai terlihat. "Bagaimana mungkin pembantu bisa memperoleh uang sebanyak ini?", pertanyaan frontal terdengar. Mengelus dada mendengar cerita ini. Sedimikian kotorkah saudara-saudara kita di sana?
Lain cerita dengan orang-orang Malaysia. Sikap mereka memang sedemkian menjengkelkan dengan menyebut orang-orang Indonesia sebagai indon, yang dalam bahasa mereka berarti budak. Di Singapura, bagi para pembaca yang pernah menonton film I am not Stupid, mereka mengambil peran seorang pembantu rumah tangga dari orang Indonesia. Nampakyna stigma orang Indonesia sebagai masyarakat pembantu sudah mulai mendunia. Â Banggakah kita? Saatnya hati nurani berbicara, dan buktikan bahwa Indonesia bukan negeri pembantu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H