Mohon tunggu...
Efendy Naibaho
Efendy Naibaho Mohon Tunggu... Wartawan -

www.formatnews.com

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Benarkah Reformasi Birokrasi Harus Dipaksa?

23 November 2014   18:28 Diperbarui: 17 Juni 2015   17:03 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Reformasi birokrasi harus dipaksa

Ketua Ombudsman Danang Girindrawardana (ANTARA FOTO/Dhoni Setiawan) SAYA sependapat dan setuju sekali, setuju 100 persen dengan Ketua Ombudsman Danang Girindrawardana yang  mengatakan birokrasi Indonesia mesti direformasi dengan cara dipaksa.  "Proses reformasi birokrasi akan berhasil jika menggunakan mekanisme paksa. Jika tidak, akan sangat sulit dan kecil kemungkinan untuk berhasil," kata dia di Jakarta, Sabtu, seperti disiarkan antaraNews. Birokrasi cara lama seperti sosialisasi, imbauan atau persuasi memang sudah tidak tepat lagi digunakan di masa sekarang karena birokrat sendiri seakan enggan berubah. Ketika saya masih di legislatif beberapa tahun yang lalu dan menyoroti reformasi birokrasi, betul atau tidak, seseorang yang mengaku birokrat dari Depdagri menelepon saya. Sang penelefon menanyai saya, setengah meng-interogasi, apakah benar saya menginginkan reformasi birokrasi? Saya tegas saja menjawabnya, iya, kenapa Pak, yang dijawabnya mau tahu secara langsung saja dan kemudian telefon tertutup. Danang benar juga dan saya sependapat dengan pendapatnya yang lain yakni , kalau sekadar persuasi sudah capek, masalahnya adalah persepsi birokrat sendiri yang merasa tidak perlu direformasi," ujarnya. Ia mengatakan, bila birokrat tidak mau berubah atau tidak mau mengikuti aturan dan standar pelayanan Nomor 25 tentang pelayanan publik maka harus dilakukan tindakan langsung oleh atasan. Dan, jika sudah diingatkan sekali tetap tidak mengikuti aturan, maka langsung ganti saja, tidak perlu sampai menunggu Surat Peringatan Ketiga," katanya. Artinya ini adalah me-reformasi birokrasi harus dipaksa. Saya teringat pepatah kuno teman saya seorang PNS yang mengatakan jika masih bisa dipersulit, untuk apa dipermudah? Ujung pendapat kawan ini adalah dibutuhkan uang terimakasih, bukan pungli apalagi memaksa. Malah ada seorang gubernur di Sumatera Utara, yang dalam pidato atau sambutan resminya  mengibaratkan pegawai itu jangan seperti "batalion 802", masuk kerja jam 8 kerja kosong dan pulang jam 2.  Beralasan memang sindiran Sang Gubernur ini bila melihat di beberapa unit kerja dulunya, jam 2-an itu kantornya sudah pada kosong. Jangan heran pula jika dengan gampangnya kita bisa menyaksikan pegawai yang berseragam berkeliaran di mal, pasar atau plaza. Ketika masih di legislatif, saat pembentukan dinas - dinas/ perangkat pemerintah, saya mendorong agar Inspektorat, Kominfo dan Kesbang  dibubarkan. Untuk apa ada inspektorat jika hasil pemeriksaan yang dilakukan tidak diteruskan ke pihak berwenang?  Hanya untuk konsumsi atasan sajakah?. Biarkan instansi berwenang yang menyidik jika ada sesuatu temuan karena BPKP juga sudah ada. Kominfo juga bubar karena kinerjanya kurang maksimal seperti Deppen di masa Orde Baru dulu, hanya mengurus media saja dan jarang menyiarkan atau mempublikasikan sesuatu kepada masyarakat. Koran, radio dan televisi  milik rakyat juga yang ekstrakeras menyiarkan berita - berita. Kesbang juga harus bubar karena dulunya, namanya Direktorat Khusus atau Direktorat Sosial Politik yang mengurusi pemilu, partai, organisasi dan lainnya, juga warga negara asing . Sekarang kan tidak lagi.... sudah ada KPU dan panwaslu. Untuk itulah, saya sangat sependapat dengan usulan reformasi birokrasi harus dipaksa, salah satu di antaranya sepertinya sudah dilakukan Menteri PAN dan Reformasi Birokrasi, Yuddi Chrisnandi, yang melarang rapat - rapat pemerintah di hotel-hotel. Kalau masih ada yang membangkang, suruh mereka mengembalikan anggarannya. Yuddi juga harus melarang bos - bos di pemprov, pemkab atau pemko untuk "jalan - jalan" terus ke Jakarta dan luar kota lainnya. Sebentar-sebentar ke Jakarta, entah apa saja urusannya, ngabisin SPJ saja yang nota bene adalah uang rakyat. Juga harus dipantau pegawai yang bertugas di luar ibukota provinsinya, jangan menjadi pegawai yang mulai masuk kerja hari Selasa dan hari Jumat sudah pulang ke kotanya. Indonesia memang tidak menginginkan kerja paksa atau  kerja rodi seperti masa penjajahan Belanda dan Jepang dulu. Yang diinginkan rakyat banyak adalah menjadi pelayan publik dan --mudah-mudahan tidak ada -- kurangilah segala bentuk pungli. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun