LUAR biasa komentar Pak Presiden Jokowi kita ini, soal FFI, soal nasib film kita yang di-update di facebook-nya. Saya tidak menyangka, Jokowi jujur sekali dan ternyata hobi film. Yang menjadi soal adalah, bagaimana film kita mau laku kalau penontonnya tidak ada lagi? Bioskop layar lebar sudah berganti studionya menjadi Studio 21 dan ada yang menjadi plaza. Penonton juga sudah pindah ke televisi serta media internet dan film dengan produksi mahal dan lama itu tergerus dengan menjamurnya sinetron yang nyata-nyata ada sponsornya. Begitupun, kita dukung dan kita minta kepada Presiden, bagaimana caranya agar setiap BUMN menyisihkan keuntungannya untuk memproduksi film-film sejarah saja seperti Sisingamangaraja XII, Diponegoro, Imam Bonjol dan lainnya. Film dokumenter juga bagus asal digarap dengan bagus. Lengkapnya, postingan status Ir H Joko Widodo di facebook saya kutip lengkap: Film adalah bagian dari kerja budaya, dan sejarah kesenian sebuah bangsa. Dalam pemikiran saya, ingin sekali di Indonesia hadir film yang mampu menyodorkan kesadaran akan problem-problem sebuah bangsa dan masyarakat. Film yang baik adalah film yang mencerahkan, dimana setelah penonton menyaksikan film itu jiwanya puas, dan adegan dalam film itu menjadi pintu kenangan bagi kehidupannya, itulah film yang mampu mengembangkan daya hidup. Terus terang saya sangat menyukai film-film Indonesia. Di masa muda saya ingat film Rano Karno "Gita Cinta Dari SMA" dan sequel-nya "Puspa Indah Taman Hati" begitu meledak dan disukai masyarakat, ada romantika-nya dan ada unsur realisme yang berkembang secara dialektis di masa itu. Saya juga menyukai film-film buatan Pak Teguh Karya, film yang mampu menghentak kesadaran masyarakat, membongkar penindasan terselubung dalam hubungan kemanusiaan seperti: feodalisme, patriarki dan sistem masyarakat yang mendewakan jabatan dan materi. Film-film Pak Teguh Karya seperti : 'Dibalik Kelambu', 'Badai Pasti Berlalu', 'November 1828', 'Ponirah Terpidana' atau 'Ibunda' merupakan karya raksasa dari Pak Teguh Karya yang menurut saya punya mutu kontemplasi tinggi dalam menjelaskan problem-problem di masyarakat, persoalan keluarga bahkan menyingkap sejarah seperti film "November 1828" yang merupakan titik balik kekalahan Pangeran Diponegoro dalam Perang Jawa 1825-1830 setelah Belanda melakukan strategi perang Benteng Stelsel. Dan di Indonesia kaitannya dengan film ada Festival Film Indonesia (FFI) adalah festival yang sudah punya reputasi dalam penilaian film serta unsur yang ada di dalamnya. FFI banyak memberikan penghargaan kepada aktor dan aktris besar seperti : Slamet Rahardjo, Christine Hakim, Deddy Mizwar, dan banyak lagi. Dan hari ini (6/12/2014) di Palembang, juri FFI akan mengumumkan film terbaik, memilih aktor dan aktris terbaik, memilih semua unsur yang bekerja dalam terbentuknya sebuah film. Selamat untuk FFI, dan saya pesan untuk kebudayaan kita salah satu bait sajak WS Rendra yang berjudul "Sebatang Lisong": “Apalah artinya renda-renda kesenian, bila terpisah dari derita lingkungan. Apalah artinya berpikir, bila terpisah dari masalah kehidupan" Semoga film Indonesia tidak terpisah dari persoalan-persoalan bangsa dan masyarakat. Tidak mengasingkan generasi muda-nya terhadap sejarah dan realitas kekinian bangsanya. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H