Menulis sesuatu yang tidak menarik dan sangat membosankan adalah menulis tentang kemacetan lalu lintas yang terjadi di Jakarta. Ribuan tulisan di berbagai media yang membahas tentang hal tersebut telah membuat kita bosan karena kenyataan yang kita temui masih tetap sama. Lalu mengapa saya masih membahas masalah kemacetan tersebut sedangkan saya hanya warga biasa bukan ahli transportasi, tata ruang kota ataupun pejabat pemerintah?
Saya berpikiran bahwa kemacetan lalu lintas di Jakarta adalah tanggung jawab kita bersama dan menyalahkan pihak lain bukanlah tindakan bijak. Seperti yang kita ketahui bersama kalau gejala kemacetan kini sudah mulai terasa di banyak kota-kota besar lainnya di indonesia dan tentunya kita semua sepakat agar kota-kota lainnya tersebut tidak mengalami permasalahan kemacetan seperti yang sekarang terjadi di Jakarta. Permasalahan di Jakarta sangat kompleks...! Orang Jakarta lebih tahu Jakarta, ngapain orang luar ikut ngurusin Jakarta?
Saya memang bukan orang Jakarta namun pengalaman pernah tinggal di Jakarta selama lima tahun adalah waktu yang cukup lama untuk sebuah kepenatan menikmati hiruk pikuk lalu lintasnya. Dengan mengambil Jakarta sebagai parameter kesemerawutan jalan rayanya maka diharapkan bisa menjadi pembelajaran bagi kota-kota besar lainnya di Indonesia yang sekarang sudah mulai terjangkiti gejala-gejala kemacetan serupa di ibukota. Dan Jakarta adalah gerbang Indonesia, dia menjadi gambaran pertama bagi orang asing yang baru pertama kali datang ke Indonesia.
Semua merasa dirugikan dengan kemacetan lalu lintas yang kian hari kian parah. Berbagai formulasi solusi telah banyak dikeluarkan, mulai dari para pejabat pengambil keputusan, para ahli transportasi bahkan sampai masyarakat awam sekalipun. Semua bertujuan sama yaitu bagaimana mengurai akar permasalahan kemacetan untuk menciptakan lalu lintas yang lancar, tertib dan nyaman bagi semua pengguna jalan. Namun sering kali obrolan pembicaraan menjadi berhenti mana kala tumpukan masalah tentang kemacetan mulai mengerucut pada satu kata yaitu disiplin. Disiplin berlalulintas jelas itu adalah kata kunci utama dalam kaitannya dengan kemacetan, dan ini pun sudah sering kali disampaikan oleh banyak pakar. Rasanya sudah basi untuk mengulasnya terus apalagi ketika teman diskusi menohok saya dengan pertanyaan balik, "Apakah anda sudah menjadi warga paling disiplin sehingga berani membahas kedisiplinan...?".
Saya beranggapan disiplin bukan untuk dibicarakan tapi untuk terus dilakukan. Bukan pula tentang mencari pembenaran dengan menggunakan orang lain ketika kita tidak disiplin. Semua harus berawal dari niat dan hati nurani kita untuk benar-benar mempunyai kemauan kuat menciptakan disiplin diri dalam segala hal disertai keyakinan bahwa dengan disiplin pasti ada hasil bagus yang akan menanti kita di depan.
Kemacetan bukan milik Jakarta saja, banyak kota-kota besar di belahan dunia lainnya mengalami hal yang sama. Los Angeles, Washinton DC, New York, London, Tokyo, Shanghai, Bangkok, Manila, Sao Paulo dan sebagainya. Berbagai peraturan dan regulasi telah diadopsi pemerintah dari cara kota-kota tersebut mengatasi kemacetan, mulai dari transportasi massal, pelarangan parkir, penggunaan sepeda sebagai sarana tranportasi alternatif, jalur-jalur khusus dan masih banyak lagi. Semua program tadi bagus bukan hanya diatas kertas karena saya yakin bila kita benar-benar mengikuti peraturan yang ada, kemacetan Jakarta tinggal menjadi cerita masa lalu. Mengapa masyarakat kota lain bisa tapi masyarakat Jakarta tidak bisa?
Mari kita jawab mulai dari hal terkecil dari keseharian kita. Kenapa sungai-sungai di luar negeri begitu terlihat bersih dan bisa menjadi sarana transportasi dan wisata? Apakah kita sudah membuang sampah pada tempatnya atau masih sembarangan di mana saja. Lantas apakah sebagian besar masyarakat Jakarta selama ini tidak disiplin?
Jujur, ini adalah pertanyaan yang serba tidak mengenakan. Kalau dijawab "tidak", bisa jadi teman-teman saya di sana pada marah-marah sambil ngomel, "Sok lue, kaya lue udah paling bagus sendiri aja...!". Kalau dijawab "sudah", kok rasanya gimana gitu kalau lihat keadaan sungai-sungai yang ada di Jakarta.
Lupakan hal serba menyebalkan tentang disiplin, berkaca pada pengalaman pribadi ketika seorang teman menegur saya, "Hai, kenapa kamu tidak buang ke tong sampah...?". Saya selalu bisa berkilah tanpa rasa berdosa, "Ah, ini kan hanya selembar tissu. Sungai Ciliwung tidak akan mampet hanya karena selembar tissu dariku. Lagian jauh sebelum aku membuang tissu ini, Jakarta tiap tahun juga sudah banjir...".
Saya mengerti dan paham ajaran tentang kebersihan, tapi mengapa saya masih melempar botol bekar air kemasan ke kali? Saya merasakan betul susahnya pernapasan tinggal di kontrakan pinggir sungai, tapi mengapa saya masih terus saja menjejalinya dengan bekas bungkus-bungkus nasi uduk? Apakah kita semua selama ini hanya bisa bermimpi atau menjadi penuntut saja? Saya ingin sebuah kota yang bersih, tertib dan nyaman tapi bebas melakukan apa saja semau saya, bukankah itu tugas pemerintah untuk membuat seluruh warganya merasa nyaman di kota yang ditempatinya?
Seberapa banyakkah orang Jakarta yang seperti saya, menginginkan segala hal dalam kemasan instan. Pokoknya saya tidak mau macet, titik...!!!