Efendi Rustam, No. 42
"Mas, kita harus memikirkan lagi hubungan kita ini..."
Mata Mar terlihat basah ketika dia berkata padaku. Aku tarik napas dalam-dalam untuk mencoba menahan segala kegeraman hatiku agar tidak terucap dalam gertakan kata-kata yang akhirnya hanya akan membuat kami merasa saling tersakiti. Kucoba alihkan pikirannya dengan mencoba menawarkan untuk menghabiskan makannya. Sudahlah, Mar, kita kesini untuk makan, kita bicarakan semua hal yang tidak mengenakkan ini nanti saja, bukankah ini makanan kesukaanmu, ayam goreng kampung Mbak Mul, yang selalu kau ceritakan padaku tentang sambelnya yang membuatmu terus menelah liur bila membayangkannya. Ah, terkadang kau terlalu hiperbol untuk hal-hal yang menjadi pilihanmu seperti halnya orang-orang sekecamatan Tawangsari atau juga sekabupaten Sukoharjo yang mengatakan kalau makanan disini tidak ada duanya di dunia. Ya jelas sajalah, Mar, rumah makan ini kan belum buka cabang di Eropa atau China!
"Kita ini lusan, mas. Aku anak ketiga sedangkan mas, anak pertama. Kita tidak mungkin bisa bersatu dalam rumah tangga, mas...!", kali ini ada yang mengalir dari kedua matamu. Ada yang bergetar di hatiku ketika kau usap lelehan air mata itu. Rasa sakit yang sama juga aku rasakan, tidak hanya kamu saja, Mar. Setelah lima bulan kita pacaran, sulit rasanya untuk membayangkan sebuah perpisahan denganmu. Tapi kenapa baru sekarang kau kemukan alasan itu, Mar. Rumahku hanya berselang tiga bangunan dari rumahmu, tidak perlu kau investigasi pada dukun bayi yang dahulu membantu persalinan ibuku atau juga KTP dan kartu keluargaku pun orang sekampung semua juga sudah tahu kalau aku, Panut Purwanto adalah anak pertama dan kau, Tri Martini adalah anak ketiga. Kenapa tidak dari awal kau tolak cintaku, Mar? Kenapa, Mar...?
Mungkinkah kau sudah melupakan semuanya, Mar? Waktu dulu ketika kau bilang selalu pusing bila membaca surat dariku, bukan karena tulisanku yang seperti cakar bebek angsa tapi karena aroma menyengat dari kertas warna merah jambu yang selalu basah sebab aku terlalu kuat menyemprotkan parfum melati? Waktu ketika pikiranku serasa terbang ke langit biru disertai bunyi sekeras kentongan dari jantungku yang membuatmu mengaduh kesakitan ketika ku beranikan menggandeng tanganmu untuk yang pertama kali? Atau, ketika lebaran kau mengenakan blus model Tersanjung yang kubelikan dihari ulang tahunmu dan kuajak kau ke puncak tertinggi gunung Taruwongso hanya untuk menunjuk bibirmu sambil menanyakan," Ini punya siapa, Mar...?", lalu aku yang tiba-tiba berkeringat saat mendengar jawabanmu," Punya kamu, mas...". Tidakkah semua itu berarti bagimu, Mar?
"Kata siapa kalau kita tidak boleh menikah, Mar...?", tanyaku dengan intonasi suara yang mengalir jelas dan tenang. Aku sudah tidak peduli apakah dia akan pingsan karena ketakutan atau mungkin malah akan kejang menahan geli saat memandang ekspresi wajahku namun sebagai seorang laki-laki sejati baik siang maupun malam, aku harus bisa tampil berwibawa dihadapan Mar agar dia yakin kalau aku bisa memecahkan persoalan asmara ini.
"Mbokde Parti, mas...".
Gubraaaaak...!!!
Lemas semua otot-otot rahangku. "Woalaaah, Mar...Mar...!", mengapa tidak kau tanyakan dulu kepada bapak ibumu tapi kau malah percaya pada obrolan-obrolan tetangga. Kalaupun ini bukan mitos dan aku tidak tahu filosofi yang menjadi dasar alasan para leluhur-leluhur kita dulu sehingga bisa membuat tradisi budaya semacam ini tetapi aku yakin pasti ada cara penyelesaian lewat tradisi dan budaya itu sendiri. Ingin sekali rasanya kutepok bokong Mbokde Parti untuk mengeluarkan semua kegemasanku padamu, Mar. Hatiku, jiwaku, dan raut mukaku sudah mengharu biru membayangkan kegalauan seandainya nanti benar-benar kau putuskan cintamu bahkan aku sudah berpikir buruk tentang kamu yang mungkin hanya menjadikanku korban PHP-mu atau kamu yang sedang bersandiwara mencari-cari alasan supaya bisa meninggalkanku untuk balik lagi pada Bambang, mantan pacarmu yang dulu. Maafkan aku, Mar.
Tenangkan hatimu, Mar. Janganlah kau mudah panik, percayalah kalau yang di atas sana pasti akan merestui niat kita yang suci untuk bisa hidup berumahtangga. Sepulang dari sini aku akan ceritakan semua pada bapak, pasti beliau ada saran untuk hubungan kita ini. "Senyum dong, Mar...".
*******