"Dia tidak perlu kaya atau tampan. Cukup bertanggungjawab, kerja berapapun hasilnya, sayang pada keluargaku, itu sudah lebih dari cukup bagiku...".
Kamu cantik, bahkan sangat cantik kalau menurutku. Tubuhmu seksi dan penampilanmu sangat menawan. Apapun model pakaian yang kamu kenakan, semua nampak pantas dan pas dengan lekukan badanmu, bahkan aku sangat yakin kalau takkan ada pria yang mampu menemukan cela untuk mengkritikmu.
"Aku punya banyak kekurangan, sangat tidak adil bila aku harus menuntut kesempurnaan pada calon suamiku. Bisa mendapatkan yang seperti itu saja, anugerah yang luar biasa bagiku..".
Banyak laki-laki yang mendekatimu. Silih berganti mereka datang mengajakmu dalam baris antrian, mulai dari pejabat, pengusaha, karyawan biasa, dan bahkan kuli bangunan. Hanya untuk bisa berlama-lama kau temani, tidak segan mereka menghabiskan semua isi dompetnya untuk menuruti semua permintaanmu. Masa iya tidak ada satupun dari mereka yang melamarmu ?
"Ada. Banyak malahan, tapi aku tolak semua...".
Kenapa...?!
"Karena aku tahu mana laki-laki baik dan laki-laki bajingan...!", lanjutmu sambil menghisap rokok. Ada yang meleleh dikelopak matamu. Tiba-tiba kau alihkan pandanganmu pada lampu trotoar diseberang jalan. Sorotan matamu begitu tajam namun entah mengapa aku merasakan kehampaan pada tatapannya. Putus asa akan sebuah harapan yang tidak kunjung kau temukan.
"Aku hanyalah sampah, dan selamanya tetap dianggap sampah...", katamu sambil beranjak dari bangku taman saat taksi yang tadi kau pesan sudah datang. Kau masih berdiri di depan pintu ketika ku ulurkan sebungkus Marlboro menthol. "Makasih ya udah ditemenin ngobrol, besok kau tunggu disini lagi kan...?.
Aku mengangguk. Jantungku selalu berdetak lebih kencang setiap kali mendengar permintaamu. Pasti, pasti dengan senang aku akan menemanimu menunggu taksi disini. Menghabiskan waktu dengan obrolan kaku sambil ditemani hangat wedang ronde dan Marlboro mentol kesukaanmu. Kau adalah bidadari. Kau tidak pernah marah atau mencoba mengalihkan pembicaraan bila kubertanya hal-hal terdalam tentang hidupmu. Lebih dari itu, aku bahkan tidak menemukan ekspresi jemu dari air mukanya kala mendengar semua celotehanku yang tidak lucu ataupun romantis.
Kau tersenyum ketika kututupkan pintu untukmu. Ada perasaan tidak rela saat suara mesin mulai terdengar menderu. Ingin sekali rasanya kubuka kembali dan kutarik kau keluar untuk terus duduk di bangku taman menemaniku. Tidak, aku tidak boleh melakukannya. Kutengok arlojiku, sudah dini hari, kamu tentu sangat capek dan ingin segera sampai ke kontrakan untuk beristirahat.
--- --- ---