Pura Dharmasaba & Masjid Al Amin
Sebagai negara yang terdiri dari ribuan pulau dengan beragam suku, agama, adat budaya, serta bahasa, membentuk rakyat Indonesia menjadi masyarakat yang dewasa dalam menyikapi berbagai perbedaan dalam kehidupan sehari-harinya. Sejarah perjuangan yang panjang yang dilalui dalam membentuk sebuah bangsa Indonesia yang besar menghasilkan sebuah semboyan pemersatu seluruh perbedaan dalam kehidupan bernegara yaitu Bhineka Tunggal Ika. Semboyan sebagai sarana untuk menumbuhkan nasionalisme pada setiap warga negaranya tentang kesatuan majemuk dalam Persatuan Indonesia.
Menghormati keberagaman yang ada di Indonesia bukan lagi hanya sekedar tulisan normatif dan seremonial atau pun simbol-simbol belaka bersifat monumental. Pernyataan tersebut harus dilaksanakan dalam segala aspek kehidupan bermasyarakat sebagai wujud rasa nasionalisme warga negara Indonesia.
Banyaknya berita tentang maraknya kekerasan dalam nuansa SARA yang sekarang kita temukan, sungguh membuat miris akan pemahaman pada semboyan bangsa yang mengakui segala perbedaan dalam bentuk saling menghormati. Tentunya, kita semua sepakat bahwa cita-cita untuk menjadi negara besar dan maju hanya dapat terwujud bila kehidupan masyarakatnya dalam keadaan damai dan saling menghormati dengan suasana demokratis.
Sebuah gambaran kecil akan indahnya keberagaman berbungkus toleransi dan saling menghormati dapat kita temukan dari sebuah kampung kecil yang sering kali terabaikan. Sebuah pemandangan indah dari Dusun Jonggolan, Kelurahan Ponowaren, Kecamatan Tawangsari, kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah, sebagai gambaran nyata Bhineka Tunggal Ika. Di pinggir kampung kecil ini terdapat dua tempat ibadah yang dibangun berdampingan yaitu Pura Dharmasaba dan Masjid Al Amin.
Hal yang menarik dari dua tempat ibadah yang telah ada lebih dari dua puluh tahun ini adalah dibangunnya sebuah sumur yang terletak di pojokan, dengan mengambil lahan di tengah-tengah batas tanah. Pertemuan antar pemeluk agama Hindu dan Islam menyepakati bahwa keberadaan sumur tersebut bisa digunakan bersama. Dalam pelaksanaan peribadahan pun mereka secara reflek melakukan tanpa ada benturan waktu dengan menerapkan pedoman tepo sliro. Sebuah harmoni yang lahir dari kesadaran diri masyarakat desa yang hidup dalam kerukunan dan gotong royong.
Masyarakat di kampung ini yang mayoritas berprofesi sebagai petani, membangun tempat-tempat ibadahnya bukan untuk simbol monumental akan keberagaman. Namun lebih dari itu, mereka membangun sarana ibadah berdasarkan rasa tulus tindakan saling menghormati dan toleransi sesama masyarakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H