Efendi Rustam, No. 62
Â
Â
Aku kembali membaca tulisan di tiap lembar novel tua.
                                               Â
Pikiranku terus melayang ketika tiba-tiba kudapati diriku sudah berdiri dalam keterasingan di tengah keramaian kota, menyaksikan wajah-wajah yang penuh kecemasan akan keselamatan jiwanya.
Â
Aku masih termangu ketika kulihat ribuan anak panah melesak dari luar tembok kota, menghujam ke arahku. Belum sempat berpikir, aku mendengar jeritan-jeritan pilu dari belakangku. Aku menoleh ke arah suara tadi. Ratusan prajurit telah roboh, tubuh mereka penuh dengan tancapan anak panah. Aku juga belum beranjak ketika ribuan pasukan berkuda bergerak bak gulungan ombak menerjang tubuhku. Mereka begitu beringas, terus berteriak sambil menyabetkan pedangnya ke segala arah untuk menghancurkan apa saja yang menghalanginya.
Â
Mendadak suasana berubah menjadi sunyi. Pasukan yang tadi menyerang dengan penuh kesetanan seketika lenyap dari pandanganku. Kini yang tersisa hanya bau amis darah dari ribuan mayat yang berserakan di tiap jengkal tanah. Kakiku mulai bergerak pelan, membawaku menyusuri puing-puing kota. Langkahku terhenti di depan sepasang mayat laki-laki dan perempuan yang saling berpelukan. Kwee Ceng dan Oeiyong telah mati. Mereka tewas demi mempertahankan kota.
Â