Tumplak punjen atau tumpak punjen adalah salah satu dari rangkaian prosesi upacara pernikahan adat Jawa. Tumplak berarti menuang, punjen berarti pundi-pundi atau hasil dari usaha yang dikumpulkan. Acara tumplak punjen ini dilakukan orang tua hanya pada pernikahan terakhir anaknya, dalam hal ini tidak harus si bungsu.
Dalam khasanah budaya Jawa, orang tua mempunyai tugas atau kewajiban yang harus dilaksanakan kepada anaknya. Pertama kali adalah memberikan nama pada anak. Dalam filosofi Jawa ada ungkapan asma kinaryo japa (nama membawa makna/doa). Orang tua menaruh harapan pada anaknya lewat nama atau doa untuk anaknya. Menilik dari pengertian tadi maka ungkapan Shakespere tentang apalah arti sebuah nama jelas tidak berlaku pada masyarakat Jawa. Kedua adalah nggulawentah atau mendidik. Orang tua harus membekali anak dengan kaweruh (knowledge) dan subasita (attitude) yang baik serta berguna sebagai pedoman untuk berkehidupan dalam masyarakat. Ketiga adalah ngemah-emahake atau menikahkan. Setelah si anak menginjak  dewasa dan dirasa sudah cukup pengetahuannya tentang hidup maka orang tua harus mencarikan jodoh yang baik untuk si anak tersebut berdasarkan bibit, bebet, dan bobot-nya. Dalam hal ini si anak juga bisa mencari calon pasangannya sendiri.
Di saat orang tua melangsungkan pernikahan anaknya yang terakhir inilah upacara tumplak punjen dilakukan sebagai tanda telah selesainya kewajiban orang tua terhadap anak-anaknya. Punjen secara simbolis diwujudkan dengan bunkusan berisi uang (jumlah bungkusan disesuaikan dengan jumlah anak, menantu, cucu serta buyut dan seterusnya), beras  kuning, bumbu dapur atau rempah-rempah, dan sejumlah uang logam. Punjen adalah simbol dari harta benda hasil jerih payah orang tua dari sejak berumah tangga dulu.
Acara ini dimulai dengan memanggil seluruh anaknya urut dari yang tertua sampai terakhir yang diikuti keluarganya masing-masing. Kemudian orang tua secara berurutan memberikan bungkusan-bungkusan tadi kepada anak, menantu dan keturunannya. Ini adalah teladan orang tua kepada anak-anaknya tentang nilai kerelaan, tidak suka merebut hak orang lain dan, bahwa semua hasil jerih payahnya diberikan dengan adil agar anak keturunannya memahami panduming dumadi, yakni manusia hidup di dunia sudah ada yang mengatur semua. Sebagai orang tua kini mereka sudah tidak memerlukan lagi hal-hal yang bersifat keduniawian dan berniat ingin lebih khusuk lagi menembah marang Gusti.
Tumplak punjen adalah bentuk wejangan (nasehat) orang tua kepada anak keturunannya agar dalam menjalani hidup berkeluarga untu selalu; Rajin bekerja agar bisa terkumpul hasilnya dan Amanah, dilambangkan dengan bungkusan pemberian orang tua yaitu hasil jerih payah orang tua. Menjaga Kesehatan, dilambangkan dengan rempah-rempah. Menjaga kebahagiaan, dilambangkan dengan beras kuning. Mempunyai sifat ikhlas, dilambangkan dengan uang receh logam. Tidak merebut hak orang lain dan suka menolong, dilambangkan dengan keseluruhan bungkusan berserta isinya yang tidak disebarkan untuk dijadikan bahan rayahan atau rebutan melainkan dibagikan secara berurutan dan tertib.
Dalam hidup bersosial masyarakat, tumplak punjen juga menjadi kode atau sandi tuan rumah kepada tamu-tamunya yang belum tahu dan berniat mengajak besanan ,bahwa dia sudah tidak mempunyai anak lajang lagi, berharap hal ini bisa diberitahukan pada warga lainnya yang juga belum mengetahuinya.
Selesai sudah tugas sebagai orang tua dan kini mereka akan menjalani kehidupan baru minandhita atau ngadeg pandhita (menanggalkan segala sifat keduniawian untuk menyatukan rasa dengan penciptanya) yaitu  sebagai  tempat ngangsu kaweruh (petunjuk) tentang hidup dan kehidupan bermasyarakat bagi  anak keturunannya nanti.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H