Mohon tunggu...
Efendi Ari Wibowo
Efendi Ari Wibowo Mohon Tunggu... -

Mahasiswa PKnH FISE UNY 2009

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Sang Guru: “Digugu Lan (ora) Ditiru”

28 Juni 2011   02:07 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:07 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Hari ini relasi yang ingin dibangun antara murid dan guru adalah relasi setara. Relasi yang tidak menginginkan adanya pemaksaan tafsir tunggal dari suatu hal. Tafsir kebenaran dalam hal pengetahuan. Hal ini dalam pandangan guru tradisional menimbulkan hilangnya rasa hormat dan segan dari murid. Kekhawatiran ini terbantahkan ketika guru memposisikan diri sebagai fasilitator dengan muridnya. Ini diadopsi oleh beberapa sekolah yang sudah mulai jengah dengan sekolah-sekolah formal kita. Sanggar Anak Alam (SALAM) Bantul, Qoriyyah Tayyibah Salatiga, dan SD Kanisius Mangunan Kalasan adalah beberapa contoh di antaranya.Mereka menghargai potensi-potensi dari setiap muridnya, berbeda dari sekolah formal yang secara pemikiran dan sikap ingin diseragamkan tanpa adanya kebebasan.

‘Subsidi’ Murid untuk Guru

Hampir di setiap kegiatan study tour atau study banding ke luar daerah selalu ada jatah untuk beberapa guru. Dulu ketika masih SD, saya Cuma menahan iri dalam hati. Tak kira itu sebagai suatu keharusan dan hak istimewa bagi seorang guru. Aji mumpung ini juga dilakukan guru SMP Islam AL-Azhar Pusat, Kebayoran Baru , Jakarta Selatan yang berangkat umrah pada mei 2011 atas tanggungan 140 murid kelas III dalam surat pembaca Kompas (9/6). Terlihat mereka memanfaatkan keharusan murid untuk berangkat kegiatan sebagai acara wajib sekolah. Kesenangan pribadinya untuk berwisata dipaksakan pada muridnya. Ya mengganggap sapi perah muridnya.

Guru pun ketika mengajar dan jarang masuk. Muridnya yang jadi korban. Padahal mereka membuat aturan sepihak, jika murid jarang masuk ataupun telat selalu dihina dan di permalukan. Itu pun tak kalah memprihatinkan jika ada kasus beberapa murid yang gagal lulus matapelajaran tertentu. Muridnya selalau yang di jadikan kambing hitam. Entah jarang belajar, tidak mau membeli buku dan malas bertanya. Di sisi lain itu benar tapi di lain pihak guru jarang yang secara bijak mengakui bahwa itu adalah kesalahannya dalam membaca karakteristik murid dan memperbaharui metode pengajarannya.

Selain hal itu demonstrasi marak juga dilakukan oleh para guru. Mereka menuntut kelayakan gaji atas jerih payah mereka. Hal itu manusiawi asalkan mereka benar-benar memberikan kualitas yang setimpal dengan tuntutannya. Program sertifikasi guru pun seolah-olah ingin meningkatkan kulaitas dan kesejahteraan guru. Hal ini ternyata sampai sekarang belum ada korelasi positifnya. Kenyataanya di lapangan sertifikasi dijadikan ajang proyek untuk mendapatkan transaksi sejumput kenaikan gaji bukan memaksimalkan dan menambah kapasitas guru.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun