Selain itu, melibatkan preman dalam penertiban PSBB seakan menegasikan kemampuan polisi karena inisiatif menggunakan preman justeru datang dari polisi sendiri bukan dari masyarakat.
Persoalan yang dikhawatirkan dan mungkin akan dihadapi masyarakat jika nantinya preman dilibatkan dalam penegakkan disiplin protokol kesehatan memang sangat beralasan, jika kita memahami tentang siapa dan bagaimana preman itu terbentuk.
Dalam ulasan ini, penulis mencoba memberikan penjelasan secara singkat tentang preman dari penelitian yang pernah dilakukan oleh Ian Douglas Wilson (2018) dalam bukunya Politik Jatah Preman, Ormas dan Kuasa Jalanan di Indonesia Pasca Orde Baru, terbitan tahun 2018.
Dalam buku ini digambarkan secara konprehensif dan rinci mengenai perubahan lanskap politik penuh dengan aneka rupa aktor mulai dari aktor-aktor negara hingga non-negara termasuk para pengusaha kekerasan pasca Orde Baru.
Sosok Preman
Dalam kehidupan sehari-hari di kota Jakarta kita melihat berbagai macam kegiatan yang dilakukan masyarakat, ada yang menjadi pengusaha, pegawai negeri, pegawai swasta, dan pada strata ekonomi terendah kita bisa menyaksikan orang-orang yang bekerja sebagai petugas keamanan atau satpam atau juru parkir toko.
Namun yang cukup menarik adalah ada orang yang menarik jatah ‘keamanan’ dari para pedagang kaki lima atau bekerja sebagai ‘pak ogah’ yang merupakan suatu istilah yang pernah dipakai masyarakat di tahun 90-an yang pekerjaannya meminta-minta di pengkolan (pertigaan) jalan.
Banyak orang saat ini menyebut mereka sebagai ‘preman’, istilah yang berasal dari bahasa belanda vrijman, yang secara harfiah berarti ‘orang merdeka”, tetapi dalam bahasa sekarang lazim digunakan untuk merujuk kepada penjahat kecil, tukang palak, atau berandalan.
Namun di era reformasi saat ini, Wilson menyebut banyak preman yang “merubah bentuk” dengan mengenakan seragam loreng merah, sepatu bot, baret dan lencana pangkat yang dipasok oleh partai atau Ormas tertentu, bagi mata awam mereka nampak seperti personel militer.
Pada bagian lain, perbedaan antara tentara dan preman di Indonesia memang tidak terlalu jelas. Sepanjang sejarah modern Indonesia, negara kerap mengandalkan spesialis-spesialis kekerasan non-negara dan preman-preman setempat ini yang membentuk bagian dari jejaring sub-kontrak yang luas atas control sosial dan politik.
Sebagaimana dicatat oleh Ryter (1998), sampai tahun 1980-an kata ‘preman’ merujuk secara khusus kepada perwira militer tanpa seragam, tetapi seiring waktu kata ‘preman’ semakin berkonotasi kriminalitas, yang mencerminkan pemahaman mengenai perpaduan antara kekerasan politik dan privat serta ambiguitas antara legalitas dan ilegalitas.