Oleh : Efendi, S.Sos., M.AP. (Analis Kebijakan Setjen DPR RI)
 1. Pendahuluan
Banyak yang belum tahu bahwa tanggal 19 Desember merupakan tanggal sakral bagi  Bangsa Indonesia. Tanggal ini  diperingati sebagai Hari Bela Negara (HBN). Sejarah HBN bermula dari  dilakukannya deklarasi Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) yang dibentuk pada 19 Desember 1948 oleh pejuang kemerdekaan, Sjafruddin Prawiranegara di Sumatera Barat.Â
Deklarasi ini dilakukan karena saat itu ibukota negara, Yogyakarta diduduki oleh Belanda dan para pemimpin seperti Soekarno, Hatta dan Syahrir diasingkan ke luar Jawa. Langkah didirikannya PDRI sebagai bentuk eksistensi bahwa Indonesia, yang mulai diduduki lagi oleh Belanda saat itu, masih ada. Jika Yogyakarta sudah diduduki maka masih ada wilayah lain yang akan bertindak sebagai Indonesia.Â
Sjafruddin Prawiranegara  diserahkan  mandat untuk memimpin Indonesia oleh Soekarno yang disampaikan melalui  telegram meski  jaringannya diputus oleh  Belanda, namun demikian pasukan tempur Indonesia yang dipimpin Jendral Soedirman tetap mengakui eksistensi PDRI.
Dalam catatan sejarah, PDRI berdiri selama 207 hari, dan pada tanggal  13 Juli 1949, dengan kesadaran dan jiwa patriotism yang tinggi, Sjafruddin Prawiranegara  mengembalikan mandat kepada Presiden Sukarno. Akhirnya beberapa bulan berselang, Belanda  mengakui kedaulatan Republik Indonesia secara penuh.
2. Bela Negara dalam Konstitusi
Bela Negara adalah sebuah konsep yang disusun oleh perangkat perundangan  tentang patriotisme seseorang, suatu kelompok atau seluruh komponen dari suatu negara dalam kepentingan mempertahankan eksistensi negara tersebut. Dalam konteks Indonesia,  Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945) secara eksplisit mengatur kewajiban warga negara Indonesia (WNI) untuk ikut serta dalam upaya bela negara.Â
Hal itu tertuang dalam Pasal 27 Ayat (3) UUD NRI 1945 yang berbunyi, "Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara". Lebih lanjut, ketentuan mengenai bela negara diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, yaitu dalam Pasal 9 Ayat (1) dan (2).Â
Pasal itu mengetengahkan bahwa upaya bela negara diwujudkan dalam penyelenggaraan pertahanan negara, serta mencakup pendidikan kewarganegaraan, pelatihan dasar kemiliteran secara wajib, pengabdian sebagai Tentara Nasional Indonesia (TNI) secara sukarela atau secara wajib, serta pengabdian sesuai dengan profesi.
Akan tetapi, upaya bela negara pada tataran praksis nampaknya masih belum terlaksana secara sistematis; salah satunya terlihat pada ketiadaan suatu sistem pendidikan bela negara yang komprehensif pada generasi muda. Kondisi ini tentu saja dapat berpengaruh pada ketahanan nasional yang berhubungan erat dengan dinamika geopolitik.