Mohon tunggu...
Efatha F Borromeu Duarte
Efatha F Borromeu Duarte Mohon Tunggu... Dosen - Ilmu Politik Unud, Malleum Iustitiae Institute

Penjelajah

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Apakah Sains Diam Diam Membunuh Keberadaan Tuhan?

15 Desember 2024   13:19 Diperbarui: 17 Desember 2024   10:22 1480
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Sumber gambar: Istimewa)

Hi Kompasianer!

Biasanya, sains datang dengan angka, rumus, dan mikroskop, sementara agama membawa doa, makna, dan mukjizat. Kita dibuat percaya bahwa keduanya adalah dua raksasa yang saling berhadapan, bertarung untuk merebut takhta kebenaran. Sains, dengan wajah seriusnya, sering menunjuk agama sebagai dongeng tua yang sudah waktunya pensiun. Sebaliknya, agama, dengan dada yang membusung, melihat sains sebagai pencuri misteri, pelanggar wilayah sakral. Tapi mari berhenti sejenak. Apakah mereka benar-benar bertarung, atau kita yang senang menonton drama buatan kita sendiri?

Sains sibuk menjawab “bagaimana,” tapi tersendat saat ditanya “mengapa.” Agama, di sisi lain, sering khusyuk berbicara tentang “mengapa,” tapi gemetar kalau ditodong pertanyaan “bagaimana.” Apa yang kita dapat dari pertengkaran ini selain kebingungan yang lebih besar? Bukankah mungkin bahwa konflik ini bukan tentang kebenaran, tapi tentang ego? Sains dan agama mungkin hanyalah dua tangan Tuhan yang bekerja di dimensi berbeda, sementara kita sibuk memisahkan keduanya karena merasa lebih pintar dari semesta itu sendiri. Kalau mereka bisa berbicara, mungkin keduanya akan sepakat untuk mengingatkan kita: "Buta bukan karena tak melihat, tapi karena tak mau memahami."


Sains dan Agama: Benarkah Kita Harus Memilih di Antara Keduanya?

"Halah, agama itu kuno. Sains sudah menjelaskan segalanya!" 

Begitu sering kita mendengar argumen ini dari orang-orang yang terlalu cepat merasa paham segalanya. Tapi, tunggu dulu. Apa benar sains sudah menjawab semua pertanyaan? Orang-orang seperti itu seringkali lupa bahwa sains, sehebat-hebatnya, hanya menjelaskan dunia bekerja. Hukum gravitasi menjelaskan prinsip  dasar apel jatuh dari pohon. Evolusi menunjukkan perkembangan makhluk hidup berkembang. Big Bang mengungkap alam semesta bermula. Tapi, apakah semua itu menjawab pertanyaan yang lebih besar: esensi alam semesta ini ada? apa sebabnya manusia merasa kagum terhadap keteraturan semesta? Jika kita berpikir bahwa menemukan mekanisme berarti meniadakan tujuan, maka maaf, kita mungkin sedang meremehkan kedalaman eksistensi manusia. Bahkan Newton, Einstein, dan banyak ilmuwan besar lainnya tidak pernah mengklaim bahwa sains adalah akhir dari segalanya.

Isaac Newton, dalam karyanya Philosophi Naturalis Principia Mathematica (1687), memberikan kita hukum gravitasi. Ia menjelaskan sebab apel jatuh dan planet-planet berputar. Tapi, apakah Newton berhenti di situ? Tidak. Newton adalah seorang yang religius. Baginya, hukum-hukum alam justru adalah bukti keberadaan Tuhan. Newton tidak pernah menyombongkan dirinya sebagai orang yang "memecahkan" misteri alam. Ia justru berkata, "Gravitasi menjelaskan gerakan planet, tetapi tidak dapat menjelaskan siapa yang mengatur planet-planet ini untuk bergerak."

Francis Collins, seorang ilmuwan terkemuka yang memimpin Human Genome Project, menulis dalam The Language of God: A Scientist Presents Evidence for Belief (2006) bahwa sains dan agama berbicara dalam dua bahasa yang berbeda. "Sains mungkin menjelaskan mekanisme, tetapi agama memberikan makna," tulisnya. Jadi, jika Anda menganggap bahwa hukum gravitasi atau mekanika kuantum telah menghapus Tuhan, mungkin kita perlu membaca ulang Newton, bukan sekadar hafal hukum gravitasi, tetapi juga memahami visinya tentang keteraturan semesta.


Big Bang

Ketika teori Big Bang pertama kali diajukan oleh Georges Lematre pada 1927, banyak yang menolak gagasan tersebut. Alasanya? Karena Big Bang menyiratkan bahwa alam semesta memiliki awal, dan itu terlalu mirip dengan narasi agama tentang penciptaan. Tapi lihat sekarang. Big Bang diterima sebagai salah satu teori paling kokoh dalam kosmologi modern. Edwin Hubble membuktikan bahwa alam semesta mengembang pada 1929, dan bukti radiasi latar belakang kosmik ditemukan pada 1965 oleh Arno Penzias dan Robert Wilson. Semua ini menunjukkan bahwa alam semesta bermula dari singularitas kecil yang meledak menjadi kosmos yang kita kenal sekarang.

Bahkan Robert Jastrow, dalam bukunya God and the Astronomers (1978), dengan jujur mengakui dilema ilmuwan modern. Ia berkata, "Pada akhirnya, kita mendapati diri kita di hadapan pertanyaan yang selama ini diajukan agama." Bukankah ini ironis? Mereka yang ingin menjauhkan Tuhan justru menemukan bahwa sains membawa mereka kembali ke pertanyaan eksistensial tentang penciptaan.


Fine-Tuning, Alam Semesta yang "Terlalu Sempurna" untuk Kebetulan

Francis Collins dalam The Language of God (2006) berbicara tentang fine-tuning sebuah fenomena di mana parameter-parameter kosmologis seperti konstanta gravitasi dan kecepatan cahaya begitu presisi sehingga memungkinkan kehidupan. Jika konstanta-konstanta ini sedikit saja berbeda, tidak akan ada bintang, planet, atau kehidupan. Apakah ini kebetulan? Collins berkata, "Jika Anda menemukan sebuah taman yang begitu rapi, Anda tidak akan berpikir bahwa taman itu muncul begitu saja tanpa tukang kebun." Para ateis dan agnostik mungkin berkata, 

"Mungkin, itu cuma keberuntungan galaktik!" 

Tapi, betulkah? Bahkan ateis seperti Fred Hoyle, yang menciptakan istilah "Big Bang" sebagai ejekan, mengakui bahwa alam semesta ini terlalu presisi untuk kebetulan. Dalam The Universe: Past and Present Reflections (1982), Hoyle menulis, "Tampaknya ada seseorang yang menyetel parameter-parameter fisika dengan sangat hati-hati untuk memungkinkan kehidupan."


Evolusi

Ketika Charles Darwin menerbitkan On the Origin of Species (1859), ia memperkenalkan teori seleksi alam yang menunjukkan bahwa spesies akan berubah melalui proses adaptasi yang gradual. Buku ini segera memantik kontroversi, khususnya dari kalangan yang memandang narasi penciptaan dalam Kitab Kejadian sebagai fakta literal. Banyak yang salah memahami evolusi sebagai penolakan terhadap Tuhan. Nyatanya, Darwin sendiri dalam edisi pertama bukunya menulis:


"Ada sesuatu yang agung dalam pandangan hidup ini... bahwa hukum-hukum alam telah diatur oleh Sang Pencipta." (On the Origin of Species, 1859, h. 490)


Pernyataan ini menunjukkan bahwa Darwin tidak pernah secara eksplisit menyangkal peran Tuhan. Ia hanya menawarkan mekanisme ilmiah untuk menjelaskan proses kehidupan, bukan menggantikan kepercayaan terhadap Pencipta.

Dalam Finding Darwin's God: A Scientist's Search for Common Ground Between God and Evolution (1999), Kenneth R. Miller, seorang ahli biologi dan Katolik taat, menegaskan bahwa evolusi bukan ancaman bagi agama. Sebaliknya, ia melihat evolusi sebagai cara Tuhan bekerja dalam ciptaan-Nya. Miller berargumen bahwa DNA manusia adalah bukti luar biasa dari kreativitas Tuhan. Ia menyebutnya sebagai "tulisan panjang Tuhan" yang menunjukkan gambaran kehidupan berkembang dari bentuk sederhana menuju kompleksitas yang luar biasa. Ia menulis:


"Proses evolusi tidak mengurangi kehadiran Tuhan. Sebaliknya, ia memperlihatkan kecemerlangan-Nya." (Finding Darwin's God, 1999, h. 258)


Miller juga mengkritik gerakan Intelligent Design (ID), menyebutnya sebagai upaya mengganti sains dengan teologi yang tidak dapat diuji secara empiris. Baginya, evolusi itu sendiri adalah bukti kebesaran Tuhan, tanpa perlu teori alternatif yang tidak ilmiah.

Francis Collins, yang memimpin Human Genome Project, memberikan pandangan serupa dalam bukunya The Language of God: A Scientist Presents Evidence for Belief (2006). Collins menyatakan bahwa evolusi adalah alat yang digunakan Tuhan untuk menciptakan kehidupan. Ia pernah menulis:


"Mutasi genetik dan seleksi alam tampak seperti proses acak, tetapi sebenarnya mereka adalah bagian dari rencana Tuhan yang lebih besar." (The Language of God, 2006, h. 123)


Collins juga menggunakan contoh contoh dan istilah fine-tuning alam semesta untuk menunjukkan bahwa Tuhan tidak hanya menciptakan hukum-hukum alam, tetapi juga merancang alam semesta sedemikian rupa sehingga memungkinkan kehidupan berkembang secara alami.

Pada tahun 1996, Paus Yohanes Paulus II menyampaikan pidato bersejarah kepada Akademi Ilmu Pengetahuan Vatikan. Dalam pidato tersebut, ia menggemakan pandangan Gereja yang mengejutkan banyak pihak, terutama di tengah ketegangan antara sains dan agama. Dengan penuh keyakinan, ia menyatakan bahwa teori evolusi adalah "lebih dari sekadar hipotesis."

Pernyataan ini bukan hanya pengakuan terhadap validitas ilmiah evolusi, tetapi juga menandai langkah besar Gereja dalam menjembatani sains dengan iman. Sang Paus menegaskan bahwa evolusi, yang didukung oleh bukti-bukti ilmiah yang kokoh, tidak bertentangan dengan kepercayaan akan Tuhan sebagai Pencipta. Namun, ia memberikan penekanan penting:


"Jika tubuh manusia berasal dari materi yang telah ada sebelumnya, jiwa spiritual adalah hasil langsung dari tindakan penciptaan Tuhan." (Message to the Pontifical Academy of Sciences on Evolution, 1996, h. 3)


Bagi Yohanes Paulus II, tubuh manusia memang dapat dijelaskan melalui proses evolusi, tetapi jiwa manusia adalah entitas yang unik. Jiwa, dalam pandangan Gereja, tidak muncul dari proses alami atau hasil evolusi materi. Jiwa adalah ciptaan langsung Tuhan, sebuah anugerah yang melampaui dunia fisik dan membawa manusia ke dalam hubungan yang mendalam dengan Sang Pencipta.

Pidato tersebut menegaskan bahwa Gereja Katolik tidak memusuhi evolusi, seperti yang sering diasumsikan dalam sejarah. Sebaliknya, Gereja mengakui bahwa sains memiliki peran penting dalam mengungkap mekanisme alam. Yohanes Paulus II menunjukkan bahwa iman tidak perlu takut kepada kebenaran ilmiah, karena kebenaran ilmiah dan kebenaran ilahi berasal dari sumber yang sama: Tuhan sendiri. Memang, Gereja tetap berpegang teguh pada pemahaman teologis bahwa manusia tidak hanya terdiri dari tubuh, tetapi juga memiliki jiwa spiritual yang menjadi inti keberadaan. Dalam perspektif ini, evolusi tidak menghilangkan nilai kemanusiaan, melainkan justru memperlihatkan keajaiban cara kerja Tuhan bekerja melalui hukum-hukum alam.

Pernyataan Yohanes Paulus II bukan hanya tentang penerimaan evolusi, tetapi juga ajakan untuk melihat bahwa sains dan agama tidak harus saling bertentangan. Evolusi, bagi Gereja, bukanlah ancaman, melainkan undangan untuk merenungkan kebesaran Tuhan yang menciptakan dunia dengan cara yang begitu agung dan penuh misteri. Dengan sikap ini, Gereja menunjukkan bahwa iman tidak menghambat pencarian pengetahuan, tetapi memberikan makna mendalam pada penemuan tersebut. Seperti yang sering ditekankan oleh Yohanes Paulus II, 

"Iman dan akal budi adalah dua sayap yang dengannya jiwa manusia terbang menuju kebenaran."

Ketidakpastian yang Membuka Ruang bagi Tuhan

Fisika kuantum adalah bidang yang sering disalahpahami. Prinsip ketidakpastian Heisenberg (1927) menyatakan bahwa kita tidak dapat mengetahui posisi dan momentum partikel secara bersamaan dengan presisi sempurna. Apakah ini berarti dunia penuh kekacauan? Tidak. Diarmuid O'Murchu dalam Quantum Theology: Spiritual Implications of the New Physics (1997) melihat ketidakpastian ini sebagai ruang di mana Tuhan bekerja secara kreatif. Ketidakpastian bukanlah kekacauan, melainkan kebebasan. Teori quantum entanglement, di mana dua partikel tetap terhubung meskipun terpisah jarak, mencerminkan gagasan teologis bahwa segala sesuatu saling terhubung. John Polkinghorne dalam Science and Theology: An Introduction (1998) menyebut ini sebagai bukti bahwa alam semesta memiliki "kedalaman misterius" yang tidak dapat dijelaskan oleh sains semata.


Relativitas Waktu

Albert Einstein, dalam teori relativitasnya, menunjukkan bahwa waktu itu relatif. Waktu bisa melambat atau bahkan berhenti tergantung pada gravitasi dan kecepatan. Pandangan ini mengingatkan kita pada konsep teologis tentang Tuhan sebagai Alfa dan Omega, yang melampaui waktu. Dalam iman Katolik, Tuhan digambarkan sebagai kekal, yang tidak terikat oleh waktu. Sains modern, alih-alih menentang gagasan ini, justru mendukungnya. Waktu yang kita kenal hanyalah bagian kecil dari realitas yang lebih besar. Dengan demikian, dialog antara fisika sains dan teologi tidak hanya memungkinkan pemahaman baru tentang realitas, tetapi juga mendorong manusia untuk mendekati Tuhan dengan kerendahan hati yang lebih besar. 

Di tengah misteri alam semesta yang terus terungkap, pandangan O'Murchu di atas mengingatkan bahwa ketidakpastian adalah panggilan untuk beriman, sebuah pengakuan terhadap keajaiban yang melampaui apa yang dapat kita pahami. Konteks Sejarah Gereja Sejarah juga menunjukkan bahwa Gereja Katolik bukanlah "musuh" sains seperti yang sering dipahami secara keliru. Galileo Galilei memang berkonflik dengan Gereja Katolik terkait pandangan heliosentrisnya (bahwa bumi berputar mengelilingi matahari). Sebaliknya, konflik ini bukan sepenuhnya tentang doktrin agama melawan sains. Berikut adalah konteks yang lebih lengkap:

  1. Perspektif Gereja pada Abad ke-17: Pada masa Galileo, pandangan geosentris (bahwa bumi adalah pusat alam semesta) yang diajukan oleh Ptolemeus telah menjadi konsensus ilmiah selama lebih dari seribu tahun. Gereja mendukung pandangan ini karena sesuai dengan interpretasi literal dari Kitab Suci yang digunakan secara luas pada masa itu.

  2. Dinamika Politik dan Kepribadian: Konflik Galileo tidak hanya berkaitan dengan pandangan ilmiah, tetapi juga dengan dinamika politik dan kepribadian. Buku Galileo, Dialogue Concerning the Two Chief World Systems, dianggap menyerang beberapa tokoh gereja secara pribadi, sehingga memicu reaksi negatif.

  3. Fakta Sejarah: Meskipun dihukum tahanan rumah, Galileo tetap diizinkan melanjutkan penelitiannya dan menyelesaikan beberapa karya besar. Gereja kemudian mengakui kesalahannya pada abad ke-20. Pada 1992, Paus Yohanes Paulus II secara resmi merehabilitasi Galileo dan menyatakan bahwa Gereja telah salah memahami konteks ilmiah pada masa itu.

Kontribusi Gereja dalam Ilmu Pengetahuan

Meskipun ada konflik seperti kasus Galileo, Gereja Katolik memiliki kontribusi signifikan dalam perkembangan ilmu pengetahuan:

  1. Observatorium Vatikan: Gereja Katolik mengelola Observatorium Vatikan, salah satu institusi penelitian ilmiah tertua yang masih aktif hingga hari ini. Para imam Jesuit yang bekerja di observatorium ini telah berkontribusi pada berbagai penemuan astronomi dan pengembangan kalender modern.

  2. Sumbangan dalam Pendidikan dan Penelitian: Banyak universitas pertama di Eropa, seperti Universitas Bologna dan Universitas Paris, didirikan oleh Gereja Katolik. Institusi-institusi ini menjadi pusat pengembangan ilmu pengetahuan pada Abad Pertengahan.

  3. Tokoh Ilmuwan Katolik:

    • Gregor Mendel: Seorang biarawan Katolik yang dikenal sebagai "bapak genetika."

    • Georges Lematre: Seorang imam Katolik yang kita bahas sebelumnya ternyata memang yang pertama kali mengajukan teori Big Bang, menyatakan bahwa alam semesta berkembang dari sebuah "atom purba."

    • Giovanni Battista Riccioli: Penemu metode pengukuran waktu rotasi Bumi dan pencipta peta bulan pertama yang akurat. Ia adalah seorang Jesuit yang membuktikan dan menghubungkan sains dan Gereja.

    • Blaise Pascal: Penemu kalkulator mekanik pertama, teori probabilitas, dan prinsip tekanan fluida (Hukum Pascal). Selain sebagai ilmuwan, ia juga seorang apologet Katolik terkenal dengan Pascal’s Wager.

    • René Descartes: Pencipta geometri analitis dan salah satu tokoh filsafat modern. Descartes tetap menjadi orang beriman yang memandang akal sebagai cara mengenal Tuhan dengan pemikiranya Meditationes de Prima Philosophia.

Dengan demikian, fakta sejarah menunjukkan bahwa Gereja Katolik lebih sering menjadi pendukung ilmu pengetahuan daripada memusuhinya. Meskipun terdapat momen-momen konflik, seperti kasus Galileo, sebagian besar sejarah menunjukkan kolaborasi yang saling memperkaya antara sains dan iman. 

Mari kita telusuri dalam konteks Indonesia, Yusuf Bilyarta Mangunwijaya (1929–1999), atau lebih dikenal sebagai Romo Mangun, adalah seorang pastor Katolik, arsitek, sastrawan, dan intelektual yang karyanya sering menyinggung hubungan antara iman, ilmu, dan kemanusiaan. Dalam novel Burung-Burung Manyar (1981), ia menggambarkan sebaiknya refleksi spiritual dapat berjalan seiring dengan perkembangan intelektual dan pergolakan hidup manusia. Selain sastra, Romo Mangun juga dikenal melalui tulisan-tulisannya dalam buku seperti Sastra dan Religiositas (1997), di mana ia menjelaskan bahwa seni dan sastra dapat menjadi jalan bagi manusia untuk merenungkan kehadiran Tuhan dalam kehidupan. Baginya, iman adalah panggilan untuk memahami dunia sebagai sebuah harmoni, di mana ilmu pengetahuan dan refleksi spiritual saling melengkapi. Kutipan penting dari Romo Mangun terkait iman dan ilmu:

“Tuhan memberikan manusia kebebasan untuk berpikir, merenung, dan memahami dunia ini. Ilmu adalah salah satu bentuk doa kita kepada Tuhan melalui akal yang telah Dia berikan.” (Sastra dan Religiositas, 1997).

Franz Magnis-Suseno (lahir 1936), seorang filsuf dan teolog Katolik Jerman-Indonesia, memberikan perspektif yang sangat penting tentang peran agama dalam ilmu pengetahuan, terutama dalam hal etika dan nilai-nilai moral. Dalam karya-karyanya seperti Etika Abad ke-21 (1995) dan Etika Politik (1987), ia menekankan bahwa sains tanpa bimbingan nilai-nilai moral akan kehilangan makna dan potensi humanisnya. Romo Magnis-Suseno percaya bahwa perkembangan ilmu pengetahuan harus didasarkan pada penghormatan terhadap martabat manusia. Ia mengkritik perkembangan sains yang bersifat destruktif, seperti perlombaan senjata atau eksploitasi lingkungan, yang hanya didorong oleh keuntungan materi tanpa memikirkan dampaknya terhadap kemanusiaan. Dalam pandangannya, agama memiliki peran untuk memberikan arah kepada sains agar tidak hanya bertanya sebabnya sesuatu bekerja, tetapi juga rancangan pengetahuan itu digunakan. Dalam Etika Abad ke-21, Magnis-Suseno menulis:

“Ilmu pengetahuan adalah pedang bermata dua. Ia dapat membawa kemajuan, tetapi juga kehancuran. Tanpa etika, sains kehilangan jiwa; tanpa agama, ia kehilangan tujuan.”

Pemikiran ini memberikan kerangka kerja yang relevan untuk diskusi modern, di mana agama tidak dimaknai sebagai penghalang kemajuan, tetapi sebagai penyeimbang agar sains tetap berpihak kepada manusia dan lingkungan.


Lompatan Iman

Søren Kierkegaard, filsuf eksistensialis, memperkenalkan konsep "lompatan iman" (leap of faith). Dalam pandangannya, iman bukanlah hasil dari bukti empiris, tetapi sebuah keputusan eksistensial yang melampaui rasionalitas. Kierkegaard menekankan bahwa pengalaman manusia terhadap Tuhan adalah sesuatu yang bersifat subjektif, mendalam, dan tidak bisa direduksi menjadi sekadar argumentasi logis. Baginya, sains dan agama bukanlah entitas yang saling meniadakan, melainkan dua dimensi yang menuntut keberanian untuk menghadapi misteri. "Iman," tulis Kierkegaard, "adalah hasrat yang menggenggam ketakterbatasan, tetapi juga keberanian untuk berdiri di hadapan ketidakpastian."

Kierkegaard memandang bahwa iman bukanlah langkah yang "buta" tanpa dasar, tetapi tindakan yang penuh kesadaran terhadap keterbatasan akal. Dalam konsep ini, manusia diundang untuk melangkah ke dalam sesuatu yang tidak pasti, bukan karena bukti yang cukup, melainkan karena keyakinan bahwa ada sesuatu yang lebih besar dari dirinya. Di sinilah agama menawarkan jawaban yang tidak bisa diberikan oleh sains. Jika sains menjelaskan cara alam semesta bekerja, agama menjawab peranan manusia ada di dalamnya.

Dalam dialog antara sains dan agama, konsep lompatan iman ini memberikan perspektif yang relevan dan kritis. Sains mungkin menawarkan jawaban terhadap banyak misteri alam semesta, dari asal-usul materi hingga mekanisme biologis kehidupan, tetapi pertanyaan mendalam seperti "hakikat" kita ada?" atau "apa tujuan kita?" tetap berada di luar jangkauan ilmiah. Mengacu dari yang dinyatakan dalam Roma 1:20, "Sebab apa yang tidak nampak dari pada-Nya, yaitu kekuatan-Nya yang kekal dan keilahian-Nya, dapat tampak kepada pikiran melalui karya-Nya sejak dunia diciptakan." Ayat ini menggarisbawahi bahwa pengamatan manusia terhadap alam semesta dapat menuntun pada pengakuan akan keberadaan Tuhan.

Lebih dari itu, Kierkegaard mengingatkan kita bahwa iman adalah pengakuan terhadap keterbatasan akal manusia. Ketika akal manusia mencapai batasnya dalam memahami fenomena alam dan realitas eksistensial, iman muncul sebagai respons terhadap panggilan transenden yang tidak bisa dijelaskan sepenuhnya dengan logika. Dalam konteks ini, sains tidaklah bertentangan dengan iman, tetapi justru menyiapkan panggung bagi manusia untuk mengambil lompatan menuju kepercayaan pada sesuatu yang lebih besar.


Dua Sayap untuk Rumah Bersama

Paus Fransiskus dalam Laudato Si’ (2015) memberikan jawaban tegas: krisis lingkungan yang kita hadapi hari ini adalah bukti bahwa sains dan agama harus berhenti bertikai dan mulai bekerja bersama. Kerusakan alam yang semakin parah—mulai dari pemanasan global, polusi air, hingga deforestasi besar-besaran—tidak bisa diselesaikan hanya dengan teknologi. Dibutuhkan perubahan hati dan pemahaman moral untuk mengembalikan keharmonisan antara manusia, alam, dan Tuhan (LS, 200). Apa gunanya teknologi canggih untuk memantau deforestasi jika kita tidak memiliki rasa hormat terhadap hutan itu sendiri?

Kita ambil contoh mengenai harmoni Nusantara Budaya yang tentunya memberikan pelajaran berharga tentang menciptakan harmoni antara manusia, alam, dan Tuhan dapat membentuk keberlanjutan kehidupan. Salah satu konsep lokal yang mencerminkan sinergi ini adalah "Tri Hita Karana" dari Bali, yang menekankan tiga hubungan utama: manusia dengan Tuhan (parahyangan), manusia dengan sesama (pawongan), dan manusia dengan alam (palemahan). Prinsip ini sejalan dengan pendekatan modern yang menyatukan sains dan agama untuk mendukung keberlanjutan ekologi global.

Sebagai salah satu contoh konkret, sistem subak di Bali tidak hanya dianggap sebagai metode irigasi tradisional, tetapi juga sebagai wujud harmonisasi antara teknologi, masyarakat, dan spiritualitas. Subak menggunakan pengaturan air yang berbasis teknis, dipadukan dengan struktur sosial komunitas petani, serta dilandasi oleh nilai-nilai keagamaan yang menghormati Dewi Sri, dewi kesuburan dalam tradisi Hindu Bali. UNESCO bahkan menetapkan subak sebagai Warisan Budaya Dunia, mengakui bahwa warisan lokal ini mengintegrasikan aspek teknis dan spiritual secara unik.

Jika ilmu pengetahuan sering kali berfokus pada eksploitasi alam untuk keuntungan material, harusnya kearifan dan nilai-nilai spiritual dari tradisi Katolik mengajarkan pentingnya keseimbangan. Sains memberikan kita alat untuk memahami sejatinya alam bekerja, sementara agama memberikan kita alasan kongkrit kita harus peduli terhadap alam. Laudato Si’ mengingatkan bahwa keberlanjutan tidak hanya soal teknologi, tetapi juga soal hati dan nilai-nilai spiritual. Harmoni antara sains dan agama, aspek ini terlihat dalam praktik seperti subak dan gereja-gereja di Maumere, menunjukkan jalan menuju masa depan yang lebih baik, di mana manusia hidup dalam keseimbangan dengan alam dan Tuhan. 

Semesta Sebagai Codex Divina

“Langit menceritakan kemuliaan Allah, dan cakrawala memberitakan pekerjaan tangan-Nya” (Mazmur 19:2). 

Kata-kata dalam ayat ini tidak sekadar mengajak kita memandang semesta sebagai kumpulan benda mati, melainkan sebagai Codex Divina, kitab besar yang setiap lembarnya memuat tanda-tanda kehadiran Sang Pencipta. Ciptaan ini tidak diam, melainkan berbicara, bercerita tentang asal-usulnya. Santo Agustinus, dalam Confessiones (Buku XIII, Bab 12), menulis bahwa alam adalah cermin kebesaran Tuhan, sebuah manifestasi dari amor diffusi—cinta yang melimpah. Tuhan menciptakan bukan karena kebutuhan, tetapi karena cinta yang tak tertahankan untuk mengungkapkan diri-Nya. Alam semesta, dengan segala keindahannya, adalah surat cinta dari Tuhan yang ditujukan kepada manusia, dan surat ini tidak pernah berhenti menanti untuk dibaca. Keagungan semesta, dari galaksi yang berputar hingga daun yang jatuh, adalah tanda kebijaksanaan Tuhan yang tersembunyi di dalam keteraturan makrostruktur. 

Santo Thomas Aquinas, dalam Summa Theologica (Bagian I, Pertanyaan 2, Artikel 3), menjelaskan bahwa keteraturan ini tidak terjadi begitu saja; segala sesuatu yang bergerak membutuhkan penyebab, dan penyebab itu adalah Tuhan, Sang Prime Mover, yang tak tergerakkan. Teori via motionis ini menemukan relevansi dalam ilmu pengetahuan modern, di mana sains mengungkapkan keindahan dan presisi hukum-hukum alam, dari konstan gravitasi hingga mekanika kuantum. Hanya saja, sains, dengan segala kehebatannya, hanya mampu menjelaskan menakisme alam semesta bekerja, tetapi tidak tujuan ia ada. Teori Big Bang, yang menunjukkan bahwa alam semesta memiliki awal, justru memperkuat doktrin creatio ex nihilo (penciptaan dari ketiadaan) seperti yang diajarkan Gereja (KGK 296). Alam semesta ini, hal ini telah diungkapkan oleh Paus Fransiskus dalam ensiklik Laudato Si', adalah “simfoni kosmik” yang setiap elemen dan hukumnya berperan dalam harmoni besar yang menunjuk kepada Tuhan. Simfoni ini begitu presisi sehingga para ilmuwan berbicara tentang kepresisian intelijensia antariksa lagi, di mana parameter-parameter kosmis seperti kecepatan cahaya dan konstanta Planck diatur sedemikian rupa sehingga kehidupan dapat ada. 

Dalam perspektif teologis, ini bukan kebetulan, tetapi bukti dari rancangan ilahi yang mendalam, selaras dengan yang dijelaskan oleh Santo Basilius Agung dalam Hexaemeron, bahwa langit dan bumi adalah kanvas tempat Tuhan menuliskan kebijaksanaan-Nya. Sains, dalam pencariannya terhadap hukum-hukum alam, hanya mengungkap keindahan mekanisme yang telah dirancang oleh Sang Deus Artifex, Seniman Agung yang menciptakan dunia bukan sebagai benda mati, tetapi sebagai karya seni yang terus hidup, bergerak, dan berkembang. Manusia, dalam jagat raya ini, bukan hanya pengamat pasif, melainkan juga homo viator, seorang pelancong yang dipanggil untuk mencari makna di tengah ciptaan. Dalam setiap langkah, manusia menemukan bahwa ia bukan sekadar debu di tengah semesta yang luas, tetapi ciptaan yang diingat oleh Tuhan (Mazmur 8:5). Mazmur ini mengajak manusia untuk tidak hanya melihat alam semesta sebagai keajaiban fisik, tetapi juga sebagai saksi yang membawa kita kepada misterium tremendum et fascinans (misteri yang menggugah rasa takut sekaligus kekaguman). Ketika kita menatap bintang-bintang, mendengar gemuruh lautan, atau merenungkan hukum-hukum fisika, kita dihadapkan pada kenyataan bahwa ada tangan tak terlihat yang bekerja di balik semuanya. 

Harus kita akui bahwa alam semesta ini tidak hanya indah, tetapi juga bermakna; tidak hanya rumit, tetapi juga terarah. Tuhan, dalam ciptaan-Nya, berbicara melalui lux et vox—(cahaya dan suara). Dalam cahaya, kita melihat keindahan-Nya; dalam suara, kita mendengar panggilan-Nya. Alam semesta, seperti kata Paus Fransiskus, adalah tempat di mana Tuhan menyatakan diri-Nya, bukan melalui kata-kata, tetapi melalui harmoni semesta yang menghubungkan segala sesuatu. Simfoni ini memanggil kita untuk percaya, mengarahkan kita untuk memahami bahwa di balik segala hukum alam, ada Sang Penyebab Awal, Sang Penggerak Pertama, Tuhan yang tak terlihat tetapi nyata. Maka, semesta ini tidak hanya bercerita tentang struktur ia ada, tetapi juga kedalaman ia diciptakan, dan dalam setiap elemennya, kita mendengar bisikan Tuhan yang berkata, “Lihatlah, Aku ada di sini.” 

Melampaui Jawaban

Albert Einstein pernah berkata, "Ilmu tanpa agama lumpuh; agama tanpa ilmu buta." Barangkali, sains dan agama tidak akan pernah menyatu dalam satu narasi tunggal. Menariknya, dalam ketegangan kreatif antara fakta empiris dan makna metafisik, manusia dapat menemukan sesuatu yang lebih besar dari sekadar jawaban.

Apakah kita akan terus memandang keduanya sebagai musuh? Atau, seperti Galileo yang melihat bintang-bintang, Santo Thomas yang merefleksikan Logos, dan Kierkegaard yang menyerukan keberanian iman, kita akan menemukan bahwa sains dan agama hanyalah dua jalan menuju sumber yang sama -- Sang Pencipta yang tak terhingga. Langit malam penuh bintang tidak hanya memanggil ilmuwan untuk menghitung, tetapi juga mengundang manusia untuk bertanya: siapa yang memahat bintang-bintang itu?


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun