Sudah sangat awam ketika ingin memasuki perusahaan baru yang memang disukai, selain melengkapi CV, fotocopy ijazah dan beberapa file pendukung lainnya salah satu syarat mutlak yang harus diikuti adalah menjawab beberapa lembar soal yang disediakan oleh pihak perusahaan. Dan pada umumnya soal paling pertama adalah soal psikotest.
Tidak peduli seberapa besar skill atau kemampuan di posisi yang didaftar, penentu awal bisa mendudukinya adalah memberi jawaban benar dengan jumlah dominan. Bukan hanya di satu dua perusahaan, hal ini pun terjadi di banyak perusahaan.
Menyikapi tentang hal ini, ada beberapa pertanyaan yang bercokol di benak saya. Seberapa besar peranan soal psikotest untuk menunjukkan skill seseorang? Seberapa besar peranan psikotest untuk bisa melihat bahwa yang bersangkutan sangat mahir dalam bidangnya? Beberapa orang yang memiliki kemampuan dalam satu bidang belum tentu memiliki ketertarikan untuk menjawab soal-soal yang seperti itu kan? Lalu apa? Mereka tidak memiliki skill? Begitukah?
Ketidak tertarikan seseorang akan soal psikotest kadang menimbulkan keinginan untuk 'asal jawab' dan 'asal selesai'. 'Bukankah yang mereka butuhkan adalah kemampuan saya?' Sayangnya pemikiran tersebut menjadi bumerang bagi kedua belah pihak. Bumerang bagi pelamar dan bumerang bagi pihak perusahaan. Jawaban 'asal selesai' pun pada akhirnya menghentikan langkah pelamar untuk mendapatkan posisi yang diinginkan dan menjauhkan perusahaan dari kandidat yang memiliki potensi tinggi.
Terkadang saya malah berpikiran, kenapa pihak perusahaan tidak mengutamakan tes yang terkait dengan masing-masing posisi? Lalu jika memang diharuskan diikuti dengan soal psikotest. Bukankah dengan begitu pihak perusahaan sudah mendapatkan kandidat terbaik?
Yap... hanya pemikiran dan opini semata.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H