"Mba, mba, nunduk, Mba!"
Aku ingat betul sekitar setengah 9 malam beberapa tahun lalu, kami para anker - anak kereta - sebutan untuk para pengguna KRL, disuruh merunduk oleh Walka yang bertugas di gerbong wanita malam itu.
Kereta kami berhenti menunggu antrian sebelum masuk di stasiun Manggarai. Apes, saat itu ada segerombolan orang yang sedang tawuran dan saling melempar.
Sontak saja kami yang tidak tahu kondisi di luar, langsung patuh pada arahan Walka. Sebelumnya memang sudah terdengar suara berdenting yang mengenai tubuh KRL, entah di bagian apanya. Yang berdiri pada merunduk, yang duduk sibuk menutup jendela di belakangnya. Saling jaga agar tak ada yang bahaya.
Perjalanan dalam Walking Tour Heritage Depok yang diinisiasi CLICK Kompasiana dan Kreatoria pekan lalu membuka mataku. Teman-teman dan para pembaca, setiap lembaran jendela KRL, dibanderol harga Rp 2jt.
Begitu informasi yang kami terima dari Bapak Asep Saeful Permana selaku Kepala Depo KRL Depok.
Ya kegiatan walking tour ini dilaksanakan bertepatan dengan perayaan Hari Blogger Nasional sekaligus Hari Sumpah Pemuda yang hanya berselisih satu hari saja di Kota Layangan, alias Depok. Meski kini sulit sekali melihat fenomena layangan di kota Depok di musim kemarau.
Kembali soal kereta. Entah ini bisa dibilang untung meskipun jelas merugikan, biaya itu masuk dalam tanggungan perbaikan. Coba saja kalau pelaku tawuran yang harus bertanggungjawab dengan kerusakan, kira-kira bisa ganti tidak ya? Kira-kira orangtuanya sanggup bayar tidak ya?
Jika tidak, sebaiknya tahan diri untuk tidak merusak fasilitas umum.
Pun jika ekonomi kamu mungkin sangat baik, perlu diketahui pula bahwa tindakan perusakan fasilitas umum seperti KRL bisa dihukum pidana penjara paling lama 5 tahun 6 bulan sesuai dengan Pasal 170 KUHP.