Suasana mendadak senyap. Larut dalam kisah "Kelir" yang dibawakan Ibu Retno Budiningsih. Piawai sekali beliau membacakan nukilan novel Kelir itu. Raut wajahnya, bahkan nada dan tekanan suaranya mampu menyihir seluruh tamu undangan diam dan mendengarkan.
Sesekali ia jadi Paksi, sesekali ia jadi Dyah dan sesekali ia jadi narator dalam cerita. Logat Jawa kental mengalir lantang kala ia jadi Paksi, tiba-tiba pula lembut dan ayu ketika ia jadi Dyah. Lihai sekali.
"Mereka menganggap dunia sebagai alam kematian karena sifatnya fana. Sedang alam sesudah fana - alam akhirat - adalah alam kelanggengan, abadi. Badan kita adalah penjara bagi ruh sehingga kematian dianggap sebagai pembebasan ruh. Sebab yang mati hanya fisik, sedang ruh kita kembali ke alam keabadian di sisi Tuhan."
Begitu salah satu kalimat narasi yang dilantunkannya.
Lain dengan Kelir, lain pula dengan Prasa. Nukilannya dibawakan langsung oleh Ibu Devie Matahari, seorang pembaca puisi kawakan. Kisahnya juga tak kalah menarik untuk didengarkan.
Anak kecil yang berhadapan dengan raja hutan itu dan bayang-bayang mencekam yang dikisahkannya di atas podium di hadapan sekitar 60an orang tamu undangan berhasil menarik perhatian.
Ya, hari itu, bertempat di PDS HB Yasin Taman Ismail Marzuki, Minggu 29 Oktober lalu, kami, para Kompasianer dan sejumlah tamu undangan lain, datang dan menikmati peluncuran sekaligus bedah novel berjudul "Kelir" dan "Prasa" karya seorang Jurnalis sekaligus Kompasianer kawakan, Yon Bayu.
Peluncuran dan bedah novel perdana yang cukup elit dan ekslusif
Berbeda dengan bedah novel yang beberapa kali kuhadiri, menurutku, untuk kalangan jurnalis dan awam, pelucuran dan bedah novel ala Yon Bayu dan timnya ini cukup elit dan ekslusif.