"Ka, ini gimana ya? Di sini ngga ada minimarket buat bayar. Aku ngga ngerti cara bayar online Ka."
Kira-kira seperti itu kegundahan hati adikku usai melakukan pembelanjaan secara daring.
Belanjanya memang secara daring, lewat e-commerce. Namun, untuk urusan pembayaran, adikku selalu memilih melakukan pembayaran ke minimarket. Alasannya selalu sama, adanya cash, Ka! Untuk alasan tersebut, aku tidak bisa memaksa agar adikku mau melakukan pembayaran secara daring.
Adikku bukan seorang "budak corporate", usai sekolah, dia memutuskan untuk terjun langsung ke lapangan dan melatih diri marketing door-to-door. Jadi nyalinya urusan jualan sudah bisa diacungi jempol lah.
Produknya terbilang umum, dia membeli dari e-commerce, dan berkat latihan selama kurang lebih delapan tahun, produk yang dibeli dengan harga di bawah 100.000 bisa terjual di atas 200.000. Sayangnya, urusan transaksi non tunai, anak ini perlu dibina sedikit demi sedikit.
Beberapa kali aku mencoba untuk mengajari bertransaksi digital, berkali-kali pula ditolak. Sampai akhirnya, wilayah "jajahan marketingnya" sudah habis dan dia harus pindah ke wilayah lain.
Sialnya, di tempat baru tersebut minimarket cukup jauh sehingga tidak mudah untuk cepat-cepat melakukan pembayaran seperti yang selama ini dilakukan.
Sekilas memang konyol, kok ada orang yang udah punya usaha sendiri bertahun-tahun tapi menutup diri untuk pembayaran yang bisa dilakukan dengan begitu mudahnya.
Usai curhat, mau tidak mau dia membuka hati untuk menerima ajaran bagaimana cara bertransaksi secara digital.
Kamu tahu apa yang adikku katakan usai mencoba satuuuuu aja pembayaran secara digital?
"Gampang Ka, kok ngga dari dulu aja ya? Ngga cape-cape ke mini market, belum bayar parkir, belum adminnya. Hahhaha"
