Malam ini, sepulang dari acara ngabuburit yang diselenggarakan oleh Komunitas Pecinta Kuliner (KPK) Kompasiana bertempat di La Piazza Kelapa Gading, saya memilih kembali ke Depok dengan memanfaatkan fasilitas umum yang telah disiapkan oleh pemerintah untuk semua masyarakatnya agar lebih mudah dan nyaman dalam bepergian. Selain itu, harga yang murah juga tentu menjadi salah satu keuntungan bagi masyarakat hingga pengeluaran untuk transportasi sehari-hari dapat ditekan.
Sebelumnya, saat masih berada di lokasi acara, kami sempat berbagi cerita dengan beberapa peserta lain yang memang telah lebih dahulu merasakan seperti apa tidak nyamannya menaiki kereta setiap hari. Pintu yang terbuka, tak ada ruang yang berbeda antara pria dan wanita, gerbong gelap, penumpang diijinkan menaiki bagian atap kereta meski sudah tahu taruhannya nyawa, pedagang di sana sini, pengamen pun tak mau ketinggalan.
Silap sedikit, dompet hilang. Silap sedikit, perempuan kena pelecehan. Banyak sekali tantangannya. Sampai akhirnya PT. KAI Commuter Indonesia berbenah terus membuat perbaikan demi memberikan pelayanan yang terbaik kepada seluruh pengguna jasa kereta hingga muncullah Commuter Line yang memang jauh lebih 'manusiawi' jika dibandingkan dengan kondisi kereta.
Jika dilihat sepintas, rasanya memang menyebalkan dan sangat menguras tenaga jika berurusan dengan Commuter Line ini. Sebagai pengguna, di awal memanfaatkan transportasi KRL saya kapok sekapok kapoknya. Tanpa kaki yang menapak di lantai KRL, saya tiba di stasiun Manggarai. Posisi harus berdesakan keluar dengan kondisi berantakan, keringatan, dan pakaian tak lagi serapi saat pertama kali berangkat.
Namun lambat laun saya mampu menyadari dan beradaptasi bahwa itulah kehidupan yang saat ini tengah saya jalani. Berhimpitan dan sangat menjaga agar tak terjadi pelecehan saat berada di gerbong campuran, menjaga juga agar tak terjadi adu mulut dan saling sikut saat berada di gerbong khusus wanita. Dan lama-lama karena sudah terbiasa, pemandangan itu tak lagi aneh, bahkan terkadang saya pun ikut mendorong penumpang yang terjepit antara pintu karena tas atau sebagian badannya tak berhasil masuk. Jika dipikir-pikir, seramnya kondisi penumpang yang naik turun KRL saat ini, tidaklah sebanding yang dulu.
Mereka yang Ada Di Balik KRL yang Terus Beroperasi Setiap Hari
Tak terasa, puasa minggu kedua pun akan segera berlalu. Sebagian orang memilih mengurangi aktivitas agar stamina tak begitu terkuras. Sebagian orang menghindari terik agar tak lekas dahaga. Sebagian orang berharap tak melihat orang lain makan dihadapannya agar puasanya tak terusik, namun, sebagian orang harus tetap siaga berkeliling untuk memastikan tak ada satu hal pun yang kurang dari kesempurnaan berjalannya KRL karena berkaitan dengan nyawa kurang lebih 1 juta orang yang diangkut setiap harinya.
Dari beberapa referensi, sebutannya adalah Teknis Kereta Api, dan di bawahnya ada PUK dan PUG yang juga memiliki tanggung jawab untuk melakukan pemeriksaan harian dan perbaikan kereta atau KRL. Pun, saya juga penasaran dengan sebuah tugas yang sebutannya adalah Petugas Penilik Jalur (PPJ) yang bertugas untuk menyusur rel kereta api untuk memastikan tidak ada kerusakan di rel, atau menyingkirkan benda yang berada di rel sebanyak dua kali dalam sehari. Pak Madyani, misalnya.
Terkadang saat bersungut-sungut karena KRL tertahan, ada perasaan sedih saat berpikir jauh hingga akhirnya menimbulkan beberapa pertanyaan yang hingga kini tak kunjung terjawab. Dan lalu sekejap sungut-sungut itu sirna berubah menjadi rasa syukur.
Apa yang tengah mereka upayakan agar perjalanan kembali normal? Makian apa yang mereka terima jika terjadi hal yang seperti ini dari pimpinannya? Bagaimana jika ternyata rel yang tengah mereka perbaiki justeru malah semakin parah karena sebuah ketidak sengajaan? Apakah puasa mereka full? Apakah mereka melakukannya dengan ikhlas? Bagaimana mereka dapat melakukan hal tersebut di tengah-tengah ibadah puasanya? Apakah mereka pulang dan berkumpul bersama keluarga saat hari besar keagamaan? Bagaimana kondisi mata para petugas saat memeriksa kondisi kereta di malam hari? Ah, rasanya banyak sekali yang ingin saya tanyakan.
Tak banyak cerita yang mencuat tentang mereka. Orang-orang terlalu sibuk mempertanyakan kapan tarif bisa turun, mempersoalkan kenapa penumpang berdesakan dibiarkan sementara di dalam sudah begitu penuh? Hingga lupa di baliknya ada aspek sosial yang menarik untuk diketahui. Atau tidak karena itu tak ada kaitannya dengan pundi-pundi uang yang akan masuk ke dalam rekening?