Mohon tunggu...
Efa Butar butar
Efa Butar butar Mohon Tunggu... Penulis - Content Writer

Content Writer | https://www.anabutarbutar.com/

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

"Yahhh, Lupa Lagi Puasa"

22 Mei 2018   08:08 Diperbarui: 22 Mei 2018   09:10 772
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dengan kejadian ini, saya selalu sependapat bahwa kebiasaan tak dapat dihilangkan serta merta, seperti bim salabim dan kemudian hilang. Tidak bisa.

Kebetulan saat di Bandar Lampung dulu, kami tinggal di dekat salah satu sekolah yang ada anak TK hingga SMA nya. Tak pelak, tiap kali melakukan kegiatan saat mereka pulang atau berangkat sekolah, tentu selalu berpapasan atau berjalan bersamaan dengan anak-anak sekolah ini.

Maka hari itu, sebagaimana kebiasaan, saya berjalan di tengah kerumunan anak SD yang tengah berangkat ke sekolah sementara saya ingin berangkat ke kampus sembari meilihat tingkat mereka yang lucu-lucu. Pun beberapa tengah sibuk dengan aksi dorong-dorangan sambil terus cekikikan. Entahlah mereka tengah membicarakan apa.

Rona-rona dan jeritan kebahagiaan anak-anak untuk tarawih malam pertama rupanya tak berhasil membuatku ingat 100% bahwa hari itu adalah hari dimulainya ibadah puasa bagi umat Islam. Dan sepertinya tubuh dan pikiran ini tetap membutuhkan satu dua hari adaptasi untuk menguasai keadaan.

Wajar. Bagaimanapun, saya baru menghadapi hal seperti ini mengingat saya datang dari desa semua penduduknya adalah Kristen, dan yang kedua, saya tidak ikut melaksanakannya. Ya, tanpa mengurangi sedikitpun rasa hormat dan menghargai perbedaan, maka lupa adalah alasan utama terjadinya hal ini.

***Kembali ke kerumanan anak-anak***

Dengan perbedaan langkah yang cukup significant, saya yang awalnya berada di belakang mereka, kini berjalan sejajar bersamaan. Botol air minum yang saya pegang memang tampak segar dan sejuk sehingga menyisakan embun-embun tipis yang menempel pada botol.

Demi melihat botol tersebut, sebuah suara melengking pun terdengar yang ditujukan pada saya

“Ihhhh, Mba nya engga puasaaaa! Ehehehehehe.” 

Tenggg! Jeritan yang diakhiri tawa itu membuat saya tersadar akan puasa yang sudah dimulai. Karena bingung harus melakukan apa, saya akhirnya hanya melemparkan senyum pada anak tersebut. Mau masukin botol minumnya ke tas, sudah keburu tengsin. Bagaimanapun mereka telah melihatnya. Mau dijelasin emang engga puasa karena beda keyakinan, ya manalah anak-anak peduli dengan itu.  

Ternyata tak berhenti sampai di sana, tak lama, jeritan tersebut berhasil mengundang jeritan-jeritan lain yang tak kalah melengking.

“Hahahahah.”

“Mba nya engga puasaaa.... Mba nya engga puasaa... Mba nya engga puasaa...”(Baca dengan bernyanyi ala anak-anak)

Jadilah sepanjang jalan hingga perempatan saya dinyanyiin lagu pendek tersebut dan jadi bahan olok-olokan mereka. Makin malu lagi karena banyak orang lain yang lalu lalang di sana. Dalam hati gue jitak nih anak, tapi takut dikeroyok mengingat jumlah mereka cukup banyak. Akhirnya saya memutuskan untuk mempercepat langkah kaki agar mereka tertinggal.

Sayangnya, mereka juga melakukan hal yang sama. ikut mempercepat langkah kaki kecilnya agar lagunya tak terputus. Saya berhenti, mereka ikut berenti. Pagi itu, saya resmi dikerjain segerombolan krucil yang menggemaskan! Edan!

Tak ingin kena hal yang sama dua kali, botol minum itu saya masukkan ke dalam tas dan menuju kampus seolah tak ada hal yang memalukan yang baru saja terjadi. Stay cool.

Sememalukan apapun hal yang saya alami, rasanya bersama mereka yang dapat saya percaya, hal yang memalukan seolah berubah menjadi hal yang menggelikan ketika bersama dengan mereka. Tak heran ada istilah yang mengatakan “Sahabat selalu tahu hingga keboroknya”. Cerita pagi itu menjadi bahan tertawaan kami selama senggang.

Siang datang, masih di hari yang sama. Saya menuju ke kantin untuk mewujudnyatakan keinginan ketika kelima sahabat saya memutuskan untuk sholat. Dalam benak saya, mie ayam mungkin akan terasa lezat.

Baru juga beberapa menit saya mulai makan, sebuah teriakan kembali terdengar. Suara yang sangat khas. Dwi namanya. Islam juga.

“Na, Makan apaan, Lu?”

Sembari menoleh, saya menggerakkan bibir dengan berkata ‘mie ayam’ namun tanpa suara. Saya sempat menangkap pandangannya berkeliling melihat situasi kantin yang memang saat itu sepi sekali. Hanya ada lima enam orang yang ada di sana termasuk saya. Wajar, kan lagi puasa. Lalu saya fokus kembali makan.

Tak lama berselang, dia datang membawa semangkuk makanan yang sama dengan yang saya santap. Cacahan daging yang terdapat di bagian atas mie tersebut satu persatu dicomot dan dilahap lalu duduk di hadapan saya sembari memasukkan cabai dan kecap ke mangkuk mie ayamnya.

“Enak tuh” sembari saya terus melihatnya aneh.

Laper banget gue. Gila.” Jawabnya sembari mengaduk makanannya yang baru saja ditambahi bumbu agar terasa makin maknyoss.

Demi melihatnya yang telah melahap beberapa potongan daging di makanan tersebut, sudah percuma saya menahannya untuk tidak makan karena puasanya sudah batal. Akhirnya sama diam. Mungkin emang hari ini lagi engga puasa? Mungkin engga enak badan meski dalam hati saya sudah yakin dia lupa mengingat saat itu kondisi badannya baik-baik saja.

Di tengah melahap mie yang masih tersisa setengah itu, saya kembali bertanya “Engga puasa?”

Dan sendoknya mendadak berhenti berdenting. Saya yang sedang memasukkan mie ke dalam mulut mulai geli sendiri menyadari perubahan tersebut dan kemungkinan besar dia lupa bahwa hari itu puasa telah dimulai. Mukanya merah. Bingung akan makanan yang ada di dalam mulutnya antara mau memuntahkan tapi sungkan karena ada saya yang sedang makan di sana, atau ditelan tapi sedang berpuasa. Walau akhirnya makanan tersebut langsung ditelan dan menenggak minuman yang ada di hadapannya. Saya makin geli melihatnya. Dia beneran lupa!

Puantes gue lapar banget, pantes kantin sepi banget. Astagfirulloh gue lupaaa... puasa gue batal ya, Allah!” Dengan medok Jawanya dia nyebut berkali-kali dan saya hanya menatapnya sambil terus tertawa.

“Kenapa Lo engga kasih tau gue ini lagi puasa?” tanyanya di tengah kepanikannya yang sudah mulai mereda. Gimana saya mau kasih tahu kalau cacahan ayam saja sudah sempat dia kunyah. Ya batal. Hahahaha.

Lucunya lagi, meski sempat panik, tetap saja dia melanjutkan menghabiskan makanannya. Mungkin nanggung ya, kan sudah kepalang batal juga puasanya. Hahahah.

Hayooo, siapa yang sering kelupaan lagi puasa hari pertamaaa???

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun