Dengan kejadian ini, saya selalu sependapat bahwa kebiasaan tak dapat dihilangkan serta merta, seperti bim salabim dan kemudian hilang. Tidak bisa.
Kebetulan saat di Bandar Lampung dulu, kami tinggal di dekat salah satu sekolah yang ada anak TK hingga SMA nya. Tak pelak, tiap kali melakukan kegiatan saat mereka pulang atau berangkat sekolah, tentu selalu berpapasan atau berjalan bersamaan dengan anak-anak sekolah ini.
Maka hari itu, sebagaimana kebiasaan, saya berjalan di tengah kerumunan anak SD yang tengah berangkat ke sekolah sementara saya ingin berangkat ke kampus sembari meilihat tingkat mereka yang lucu-lucu. Pun beberapa tengah sibuk dengan aksi dorong-dorangan sambil terus cekikikan. Entahlah mereka tengah membicarakan apa.
Rona-rona dan jeritan kebahagiaan anak-anak untuk tarawih malam pertama rupanya tak berhasil membuatku ingat 100% bahwa hari itu adalah hari dimulainya ibadah puasa bagi umat Islam. Dan sepertinya tubuh dan pikiran ini tetap membutuhkan satu dua hari adaptasi untuk menguasai keadaan.
Wajar. Bagaimanapun, saya baru menghadapi hal seperti ini mengingat saya datang dari desa semua penduduknya adalah Kristen, dan yang kedua, saya tidak ikut melaksanakannya. Ya, tanpa mengurangi sedikitpun rasa hormat dan menghargai perbedaan, maka lupa adalah alasan utama terjadinya hal ini.
***Kembali ke kerumanan anak-anak***
Dengan perbedaan langkah yang cukup significant, saya yang awalnya berada di belakang mereka, kini berjalan sejajar bersamaan. Botol air minum yang saya pegang memang tampak segar dan sejuk sehingga menyisakan embun-embun tipis yang menempel pada botol.
Demi melihat botol tersebut, sebuah suara melengking pun terdengar yang ditujukan pada saya
“Ihhhh, Mba nya engga puasaaaa! Ehehehehehe.”
Tenggg! Jeritan yang diakhiri tawa itu membuat saya tersadar akan puasa yang sudah dimulai. Karena bingung harus melakukan apa, saya akhirnya hanya melemparkan senyum pada anak tersebut. Mau masukin botol minumnya ke tas, sudah keburu tengsin. Bagaimanapun mereka telah melihatnya. Mau dijelasin emang engga puasa karena beda keyakinan, ya manalah anak-anak peduli dengan itu.
Ternyata tak berhenti sampai di sana, tak lama, jeritan tersebut berhasil mengundang jeritan-jeritan lain yang tak kalah melengking.