Meski Takut Terbang, Aturan Dalam Pesawat Harus Tetap Dipatuhi
Ada yang aneh saat baru duduk di pesawat di Bandara Adi Sumarmo, Solo, usai kunjungan Akademi Kompasiana November 2017 lalu. Sesama Kompasianer memanggilnya Arum, kebetulan saat itu kami duduk bersebelahan. Tanpa ada aba-aba, usai meletakkan tas di bagasi kabin dan duduk di kursi, tangan saya dicengkeram cukup kuat, wajahnya sedikit pucat, belum lagi tangannya terasa dingin sekaligus berkeringat. Tak lama kemudian sambil sedikit tersenyum dia berbisik, pelan sekali "Milea, kamu cantik, tapi aku belum cinta. Engga tau nanti sore." Hehehhe. Engga ding. "Aku takut naik pesawat" ujarnya saat itu.
Seorang Arum yang diantara Kompasianer terkenal dengan sosok yang ceria, banyak tawa, rajin menabung, eh... ga lagi ding. Hehhe. Ternyata, di balik sosok seorang Arum yang menyenangkan itu terdapat sebuah rahasia yang harus dibongkarnya saat perjalanan Akademi demi mendapatkan ketenangan selama di perjalanan.
Tidak mudah untuk menyampaikan sesuatu yang menjadi kelemahan diri sendiri, bisa jadi kelemahan tersebut menjadi ajang bully, bisa jadi kelemahan itu dimanfaatkan oleh mereka yang mengetahui untuk bersikap "iseng" pada penderita. Ada banyak hal yang harus dijaga jika ingin memberitahukan kelemahan diri pada orang lain. Dan jika itu sudah terjadi, maka si penderita harus menerima konsekuensi apapun yang akan diterimanya dikemudian hari. Menjadi objek tulisan saat ini misalnya. Hhehehe.
Saya fobia pacet dan lintah meski saya putri dari seorang Petani. Setiap kali saya bertemu dengan kedua makhluk itu, saya yang biasanya berjalan perlahan di pematang sawah, entah bagaimana caranya tiba-tiba bisa serasa sedang lomba sprint 500m. Yang lebih parah adalah jika makhluk tersebut menempel di kaki. Saya rasa kecepatan berlari saya bisa 2x lipat dan biasanya saya lari ke arah Mamak dengan tujuan agar mamak segera menyingkirkannya dari kaki saya walau dengan tatapan antara kesal (mendengarkan saya teriak) dan geli (Ga tau kenapa. Itu sama sekali tidak lucu.) karena setiap kali sudah mengambilnya dari kaki, usai melotot, mamak pasti terbahak-bahak sembari menyodorkan pacet itu pada saya.Â
Setelah itu, sampai dua hari ke depan saya memilih untuk tidak menginjakkan kaki di tempat di mana pacet itu dibuang oleh Mamak dan memilih memutar dari pematang sawah yang lain meski jaraknya lebih jauh. Itu bahayanya jika seseorang mengetahui kelemahan diri. Ditakut-takut, diisengi, ditertawakan. Dan rasanya sangat menyebalkan!
Tidak ada yang salah jika takut naik pesawat, tingkat keberanian seseorang berbeda-beda. Bisa jadi mereka yang takut naik pesawat penyayang binatang. Sebaliknya, bisa jadi yang berani terbang kemana-mana fobia pada segala hal yang terkait dengan binatang. Mau diisengin juga? Tidakkan?
Mereka yang takut naik pesawat tentu saja tidak menginginkan hal tersebut, siapa sih yang tidak ingin bepergian dari satu kota ke kota lain dalam waktu yang cukup cepat? Siapa juga yang mau macet-macetan di jalanan, terjebak dalam bus selama berjam-jam? Tidak ada.
Sekali lagi, tidak ada yang salah jika takut naik pesawat, yang menakutkan dari seorang penumpang yang takut naik pesawat adalah membuat onar dan tidak bisa diajak kerja sama untuk tenang selama penerbangan.
Lalu apa yang terjadi dengan Mba Arum selama perjalanan tersebut?
Meski saya sempat menertawakan dan kaget dengan pengakuan tersebut, saya cukup takjub dengan caranya menenangkan diri. Mba Arum cukup kooperatif sebagai penumpang yang takut naik pesawat sehingga sama sekali tidak menganggu penumpang di sebelahnya, termasuk saya. Dan mungkin, tips ini dapat pula dimanfaatkan oleh Anda di luar sana yang takut naik pesawat meski telah berkali-kali menaikinya.