Dulu sekali...
Rasanya berhenti melawanmu adalah sesuatu yang tak pernah ingin kulakukan. Diam berarti kalah tak peduli air matamu menetes di hadapanku. Tak jarang akupun menyakitimu tanpa sepengetahuanku akibat kebodohanku - sekalipun aku tengah berjuang membuatmu bahagia.
Puas? ya! Aku bahagia saat dimana kau mundur dan membiarkanku menang dalam pertengkaran kita.
Jahat? Aku tidak menyadarinya ketika itu. Mengedepankan ego dan emosi labil remaja demi kepuasan dan harga diri.
Salahkah aku?
Dulu sekali, aku tidak merasa itu salah. Berpikir bahwa dirimu layak untuk menerimanya.Â
Lalu salahmu kah? Sejujurnya tidak! Tapi aku butuh seseorang sebagai wadahku untuk melampiaskan semua yang ada dalam diriku, dan itu dirimu.
Dulu sekali...
Aku berprestasi, mengalahkan semua yang menjadi sainganku untuk membuat kalian berdua bahagia. Hingga saat itu tiba, waktu dimana dia menjauh. Pergi mencari sesuatu yang katanya adalah kehidupan tanpa peduli bahwa kehidupan bagiku adalah sosoknya. Aku tidak mau menerima alasan yang kalian buat mengenai alasan dibalik kepergiannya.
Aku mencari, tapi tak kunjung kutemukan. Â Aku kebingungan, mencari terus dan sepertinya dia semakin menjauh.Â
Begitu juga dengan dirimu yang seolah tak mengerti tentang teriakan hatiku. Kau tidak membawanya kembali ke sisiku. Tidak menghadirkannya kembali tepat di sampingku. Aku seperti kehilangan kehidupanku.Â