Acara FFPI 2015 yang diselenggarakan KompasTV dengan tema “Indonesiaku, Kebanggaanku” 22 Januari 2016 bertempat di Galeri Indonesia Kaya, Grand Indonesia buat saya sendiri merupakan hal baru yang luar biasa menarik. Bagaimana tidak? Saya bertemu langsung dengan para film maker berkompeten dari berbagai daerah, bertemu dengan beberapa Kompasianer walaupun belum begitu kenal and yeayy… Guys? Angga Sasongko?? At least!!! Yuhuuuu…
[/caption]
Well, kehadiran saya disambut hangat dengan senyuman beberapa undangan, panitia dan juga beberapa film maker yang sudah lebih dahulu tiba di Auditorium Galeri Indonesia, meski belum begitu ramai. 15.55 WIB versi jam di handphone aku duduk manis dan hingga pukul 16.20 WIB (masih versi handphone saya) acara tak kunjung dimulai (Undangan tertera 16.00-20.00 WIB). Saya mencoba memahami situasi. Oke… Gue berada di Indonesia, yang begini ya sudah biasa (Semoga tidak dibudayakan). Peace :D
16. 27 WIB (tetap vesi jam di handphone saya) acara dibuka dengan tayangan ragam budaya Indonesia, mulai dari baju tradisional, tarian daerah, hingga ke rumah adat. Dilanjutkan dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya. Dan sekitar pukul 16.37 WIB si Cantik Host mulai menaiki panggung dan acara dimulai. Yihuuiii. Here we goo…
1. Kategori Umum
2. Kategori Pelajar
Setelah dilakukan voting lucu-lucuan ala Host akhirnya diputuskan untuk terlebih dahulu menayangkan film pendek dari kategori umum.
Film pendek pertama yang ditayangkan dari kategori ini adalah Ojo Sok-sokan yang diproduksi oleh Sebelas Sinema Pictures. Satu hal yang sangat menarik buat saya di film pendek ini adalah, ketika salah satu pemuda yang begitu antusias menunjukkan bagaimana cara berbicara gaul dan keren ala-ala Jakarta kepada seorang wanita dengan cara berbicaranya sayangnya wanita tersebut menunjukkan betapa dia fasih berbicara dengan menggunakan bahasa Jawa dan pembicaraan diakhiri dengan rasa malu yang diterima pemuda tersebut.
Buat saya sendiri yang memang berasal dari Sumatera Utara, bahasa jawa fasih dan ‘medok’ merupakan salah satu bahasa yang selalu ingin saya coba tirukan walaupun pada akhirnya bahasa dan logat selalu berlawanan. Maksud saya begini, criteria bahasa keren dan gaul bagi masing-masing orang itu berbeda. Saya sebagai seorang reviewer bahasa yang paling keren itu ya tentu saja bahasa daerah saya, Batak Toba. Lalu saya mulai mengatakan bahwa bahasa daerah orang lain keren ketika mereka mengucapkannya dengan bahasa, cara dan logat yang sempurna. Saya menyukai pesan tersirat itu dari film pendek ini.
Kemudian disusul dengan film pendek berjudul Ruwat yang diproduksi oleh Tanah Hijau Kreative. Film ini mengisahkan upaya keras orangtu membujuk anaknya untuk mau di’ruwat’. Ruwat merupakan salah satu tradisi di Dieng yang harus dilakukan untuk mengembalikan bentuk asli rambut si anak yang secara alamiah tumbuh ‘gimbal’ sejak kecil. Sayangnya, sang Anak memiliki syarat khusus yang harus dituruti agar bersedia disunat, yaitu liburan ke Hongkong walaupun sebenarnya orangtuanya tidak sanggup memenuhi syarat yang diajukan sang anak. Sebagai penikmat film maupun reviewer, yang saya tangkap adalah adanya pemaksaan seorang anak terhadap orangtuanya untuk dipenuhi walaupun sebenarnya ruwat tersebut untuk kebaikan sang anak dan hal ini tidak cukup baik untuk disampaikan mengingat sikap seorang anak terlalu cepat mengikuti apa yang dilihatnya. Namun ada hal juga yang saya sukai dari film ini yaitu: kesiapan anak tersebut untuk melakukan yang terbaik demi mendapatkan yang diinginkannya