Mohon tunggu...
Fajar Arif Budiman
Fajar Arif Budiman Mohon Tunggu... Konsultan Politik dan Kebijakan Publik -

Konsultan Politik dan Kebijakan Publik Executive Director POLDATA INDONESIA CONSULTANT Aktivis Pemberdayaan Pemuda

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Menjadikan Politik Ajang Perebutan Kekuasaan atau Menebar Pemimpin Lokal?

15 Februari 2016   10:50 Diperbarui: 15 Februari 2016   11:53 1950
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="sumber : siperubahan.com"][/caption]Sejak bergulirnya orde reformasi 1998, Indonesia membuka peluang lebar kepada seluruh warga negaranya untuk berpartisipasi secara demokratis dalam proses perumusan kebijakan. Apakah sekedar menjadi pemilih dalam sebuah pemilu langsung atau bahkan menjadi kandidat calon pemimpin. Sebelumnya, menjadi bagian dalam menentukan masa depan bangsa adalah mimpi bagi rakyat kebanyakan. Kesempatan tersebut seolah hanya berlaku terbatas bagi kalangan-kalangan elite, keluarga, partai, golongan atau bahkan etnis tertentu saja.

Presiden Jokowi adalah fenomena politik Indonesia kontemporer. Jokowi berbeda dengan mayoritas presiden-presiden Indonesia sebelumnya. Ia bukan keturunan dan tidak ada kaitan dengan elite atau rezim penguasa sebelumnya. Perjuangan Jokowi menuju kursi presiden dimulai dari bawah, menjadi Wali Kota Solo. Sebelumnya tiada yang mengira karier politiknya akan begitu cemerlang. Belum genap merampungkan periode kedua kepemimpinannya yang berprestasi di Solo, ia maju menjadi Gubernur DKI Jakarta. Belum dua tahun memimpin Jakarta ia maju dan terpilih menjadi presiden ketujuh RI. Di kalangan elite Jakarta, Jokowi sebenarnya tidak populer dan bahkan dianggap berpotensi ‘mengganggu’ kenyamanan serta peta oligarki penguasa Jakarta.

Fenomena Jokowi, yang merebut kepemimpinan nasional dari 'jalur D’ atau (kepala) daerah, sekonyong-konyong kemudian menjadi pola baru politik Indonesia saat ini. Para pemimpin daerah kini berlomba membangun prestasi, isu yang berbeda (diferensiasi) sekaligus citra positif memimpin daerahnya masing-masing. Sebagian ada yang memproyeksikan dirinya untuk ‘naik tingkat’ ke jenjang kepemimpinan di atasnya. Kesempatan melakukan lompatan politik menjadi terbuka jika ia ‘dicitrakan’ berhasil memimpin daerah atau memiliki karakter kepemimpinan yang atraktif dan unik di mata publik.

Terkait lompatan-lompatan karier politik ini tidak ada yang salah selama tidak melanggar regulasi dan bukan sekedar pencitraan kosong menipu rakyat. Dalam banyak hal justru positif untuk rekrutmen dan sirkulasi kepemimpinan yang sehat di Indonesia. Politik nasional jangan hanya didominasi oleh oligarki ekonomi-politik Jakarta.

Namun problematik jika fenomena ‘jalur D’ ini kemudian sekonyong-konyong menjadi pakem politik bagi siapa saja politisi yang berambisi menjadi pemimpin nasional. DKI Jakarta kemudian dianggap sebagai kursi paling strategis yang menjadi episentrum karier politik merujuk pengalaman Jokowi untuk merebut kursi presiden 2014. Akibat negatifnya adalah munculnya godaan lompatan politik bagi sejumlah kepala daerah ambisius yang menghalalkan pencitraan artifisial semata sehingga tanggung jawab di daerahnya menjadi terabaikan akibat gagal fokus.

Sejak Jokowi menjadi Gubernur Jakarta dan lalu menjadi presiden, DKI Jakarta terlanjur dilihat sebagai ‘titik strategis’ yang harus direbut oleh politisi, kepala daerah, atau bahkan pengusaha yang bermimpi menjadi pemimpin nomor satu di negeri ini. Tak salah jika Yusril Ihza Mahendra yang berniat maju dalam Pilgub Jakarta 2017 nanti memprediksi Gubernur Jakarta petahana Ahok bisa saja menjadi kandidat pesaing Jokowi pada pilpres 2019 nanti.

Jakarta sejak kita merdeka tak bisa dihindari sudah menjadi sentrum politik Indonesia. Strategi pembangunan Orde Baru malah mensentralisasi pembangunan ekonomi hanya di Jakarta dan di saat yang sama memperlemah daerah. 

Media yang berbasis di Jakarta kerap kali harus menjadi media ‘nasional’ dan menyingkirkan isu-isu daerah yang sesungguhnya lebih berbobot dan variatif. Politik yang terjadi di Jakarta kemudian ditafsirkan menjadi narasi tunggal politik Indonesia menyingkirkan narasi-narasi politik lokal yang justru lebih bisa merepresentasikan politik Indonesia yang dinamis dan atraktif.

Ekonomi dan bisnis tersentralisasi di Jakarta serta telah membentuk kekuatan oligarki-elitis tersendiri yang dalam banyak hal amat berjarak dengan realitas sosial-ekonomi Indonesia kebanyakan. Gubernur DKI Jakarta Ahok dan Haji Lulung, anggota DPRD DKI, saat ini – suka tidak suka – tiba-tiba telah menjadi selebriti politik nasional.

Fenomena Jokowi biarlah menjadi fenomena Jokowi. Regulasi dan proses politik harus mampu menciptakan dan menjamin keberlangsungan pemimpin-pemimpin lokal yang lebih bertanggung jawab untuk melayani aspirasi publik di daerahnya masing-masing secara optimal dan berkelanjutan (sustainable). Pemimpin-pemimpin seperti yang saat ini populer semestinya tetap berkarya di daerah dan fokus memikirkan serta melayani warganya. Tidak harus berkumpul dan berebut apalagi bertarung di Jakarta hanya untuk kemudian dijadikan lompatan bermimpi menjadi presiden.

Toh, tidak selalunya Gubernur Jakarta setelah Jokowi bisa sukses dan otomatis populer serta-merta kemudian terpilih menjadi presiden. Rakyat Indonesia, dan pemilih kritis, sudah semakin cerdas dalam melihat mana politisi gombal pencitraan, mana politisi yang benar-benar jujur dan pekerja, serta mana politisi yang karakternya betul-betul pantas menjadi pemimpin nasional.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun