[caption caption="sumber : www.okejoss.co"][/caption]
Keputusan untuk bekerja sama dengan China dalam pembangunan megaproyek kereta cepat Jakarta-Bandung menuai perdebatan publik yang cukup tajam. Tidak hanya mengenai mengapa China yang dipilih, tapi juga mengenai urgensi kereta cepat Jakarta-Bandung itu sendiri. Publik diinformasikan bahwa Indonesia beruntung dalam mengambil China, dibanding Jepang, sebagai rekanan dalam pembangunan megaproyek kereta cepat tersebut. China tidak meminta jaminan negara dalam bentuk apapun, masa konsesi selama 50 tahun, tidak menggunakan dana APBN sama sekali, dan menyelesaikan studi kelayakan dan analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL) sebelum memulai pembangunan pada September 2015. Setidaknya itu yang disampaikan kepada publik.
Dari perspektif geopolitik, saya memuji keberanian dan ketegasan Presiden Jokowi dalam memutuskan China sebagai pemenang dan bukan Jepang. Saya puji karena pilihan-pilihan terkait dengan agenda-agenda strategis lazimnya memiliki dampak politis dan ekonomis tertentu sebagai konsekuensi. Dan kita bisa menunjukkan kedaulatan pilihan-pilihan kita sebagai bangsa merdeka. Tulisan ini namun tidak bermaksud membahas hal tersebut. Saya hanya ingin menyoroti dari segi kebijakan publik dan payung hukum yang kontradiktif dalam menopang proyek ambisius ini.
Sebagaimana kita ketahui, megaproyek kereta cepat Jakarta-Bandung diperkuat dengan diterbitkannya Perpres No. 107 tahun 2015 tentang Percepatan Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana Kereta Cepat Antara Jakarta dan Bandung yang diundangkan pada tanggal 6 Oktober 2015. Pasal 4 Ayat 2 dalam Perpres ini menyebutkan bahwa, “Pelaksanaan penugasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 tidak menggunakan dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara serta tidak mendapatkan jaminan Pemerintah.”
Namun belakangan muncul perpres lainnya yakni Perpres No. 3 Tahun 2016 Tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional yang diundangkan tiga bulan setelahnya yakni tanggal 12 Januari 2016. Pada pasal 25 Ayat 1 justru perpres tersebut menyatakan, “Pemerintah dapat memberikan jaminan Pemerintah Pusat terhadap Proyek Strategis Nasional yang dilaksanakan oleh Badan Usaha atau Pemerintah Daerah yang bekerja sama dengan Badan Usaha”. Dan anehnya, Kereta Cepat Jakarta-Bandung termasuk di dalam lampiran perpres proyek strategis nasional ini yang maknanya negara melalui APBN dan APBD bisa menjamin keberlangsungan proyek tersebut. (Lampiran Perpres No. 3 Tahun 2016)
Kontradiksi ini jelas-jelas menggelikan, mengundang polemik dan interpretasi yang berbeda serta berpotensi berbau manipulatif. Pemerintah harus segera mengklarifikasi kontradiksi tersebut. Ironisnya, para pejabat pemerintahan pun tampaknya terlibat polemik dan saling klaim yang masing-masing bersumber dari kontradiksi dua pilpres tersebut dengan isu utama apakah proyek ini mendapat jaminan pemerintah atau tidak. Berdasarkan asas hukum Lex Specialis Derogat Lex Generalis maka berarti perpres tentang percepatan kereta cepat no 107 tahun 2015 harus mengesampingkan perpres no 3 tahun 2016 tentang proyek strategis nasional di mana proyek kereta cepat ikut terlampirkan. Namun tetap saja dalam konteks legal politics, keberadaan dua perpres ini telah menyebabkan polemik dan peluang ketidakjelasan yang mengancam kewibawaan pemerintah di mata publik.
Menurut saya secara berbaik sangka, Presiden Jokowi kecolongan dalam kontradiksi penerbitan dua perpres ini. Kita tentu mendukung niat progresif untuk membangun kereta cepat sebagai realisasi dari visi perubahan Presiden Jokowi. Dengan tipikal serba gebrak serba cepat yang menjadi ciri khas populisme Presiden Jokowi kereta cepat ini diharapkan menjadi inovasi dan legacy yang akan dikenang dan dirasakan manfaatnya oleh masyarakat.
Namun serba gebrak dan serba cepat ini akan berdampak negatif jika tidak dikaji dan dilakukan tahapan-tahapan yang seharusnya. Selain dampak positifnya, pemerintah harus juga jeli mengantisipasi dampak buruk yang mungkin timbul jika kereta cepat ini nanti beroperasi. Secara sosial tentu akan terjadi perubahan yang signifikan akibat dibangunnya kawasan-kawasan transit. Penduduk lokal biasanya akan tersingkir karena kalah bersaing dengan tenaga kerja dari luar daerah yang dianggap lebih mumpuni untuk mengisi ruang-ruang dalam kegiatan ekonomi. Kehadiran pendatang akan turut mengubah tatanan sosial yang selama bertahun-tahun dilaksanakan di lokasi tersebut. Artinya, semua pihak harus dilibatkan dan bersiap-siap untuk mengantisipasi baik itu dampak positif maupun negatif dari keberadaan kereta cepat tersebut.
Jika prosedur formulasi kebijakan tidak dilaksanakan maka tidak heran kebijakan tersebut akan menimbulkan kontradiksi dan polemik seperti yang sekarang terjadi. Sebagaimana yang kemudian kita saksikan adalah, akibat dari kontradiksi ketidakhati-hatian megaproyek ini, menteri sektoral dan pihak-pihak yang terkait menjadi tidak terkoordinasi dan bahkan saling hadang. Saran saya, ke depannya, agar presiden tidak lagi kecolongan maka setiap kebijakan harus melalui serangkaian proses kajian yang holistik dan komprehensif agar tidak meninggalkan celah failure sekecil apapun. Tim kepresidenan harus bisa bekerja lebih baik, lebih teliti dan mendengar masukan objektif dari kalangan akademisi sehingga dapat menghasilkan produk kebijakan yang berwibawa dan tidak mengundang polemik. Bagaimanapun kewibawaan lembaga kepresidenan harus selalu terjaga dan mulia di mata publik.