Mohon tunggu...
Hendriansah Hendriansah
Hendriansah Hendriansah Mohon Tunggu... -

Seorang karyawan, hadir didunia melalui Pulau Sumatera, berkembang di Jogja, dan sekarang mencari nafkah di Semarang

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Kota Semarang di Mata Warga Barunya (Hidup di Semarang Part I)

9 Februari 2010   04:03 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:01 1135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sebelum berpindah kota di Semarang, saya tinggal di Kota Yogyakarta, sebuah kota yang menjadi tujuan wisata para turis di Pulau Jawa. Hampir sepuluh tahun saya tinggal di Kota yang menurut saya sangat "Nyaman" itu. Saya sendiri bukan orang jawa, saya asli Sumatera, tepatnya Sumatera Selatan, merantau ke Pulau Jawa untuk memberikan sesuatu yang lain pada hidup saya. Kota-kota di pulau jawa menurut saya maju 10 langkah dari kota-kota di Sumatera (untuk ukuran kota kecil dan kota sedang). ----------------- Perpindahan Sekitar bulan Oktober 2009 saya mendapatkan tugas dari kantor untuk "migrasi" dari kota Yogyakarta menuju ke kota Semarang. Berhubung istri saya masih bekerja di Yogyakarta dan perpindahan total (keluarga) belum bisa dilakukan bulan itu juga. Selama Oktober, November, Desember yang saya lakukan adalah perjalanan Semarang - Jogja setiap hari sabtu. Akhirnya hari yang ditunggu itu tiba, tepatnya 14 Januari 2010 saya melakukan perpindahan total. Sebelumnya saya telah mendapatkan sebuah rumah kontrakan di daerah Sampangan, dimana mencari kontrakan di Kota Semarang ternyata sangat sulit (menurut saya yang belum mengenal secara penuh kota Semarang). Jalanan Kota Yang membuat saya sangat senang adalah jalanan di kota Semarang, sungguh-sungguh jalan raya yang besar. Hampir semua jalan berukuran lebar, bahkan jalan-jalan protokol terasa sangat besar untuk saya. Maklumlah, saya lahir di kota kecil di bagian barat Sumatera Selatan yang memiliki jalan yang sempit, kemudian pindah ke Yogyakarta dengan gambaran yang hampir sama, jalanan yang sempit, walaupun sedikit lebih besar dari kota kelahiran saya. Jalanan di kota semarang juga tidak terputus oleh traffic light untuk penamaannya. Ini sangat menguntungkan saya yang kemana-mana mengandalkan Google Maps untuk berkeliling kota. Seperti jalan pemuda yang panjang dengan nama yang sama walaupun menemui berapa kali traffic light. Jumlah penduduk dan kemacetan Dengan jumlah penduduk mencapai 1jt jiwa lebih, bahkan beberapa media mengatakan 1,6 juta jiwa, kemacetan di Semarang menurut saya masih wajar, mungkin [caption id="attachment_70872" align="alignleft" width="300" caption="Beca di Tugu Muda"][/caption] ada beberapa titik yang sangat macet (dan menurut saya, hanya menurut saya) itu masih wajar. Dengan jumlah penduduk diatas satu juta jiwa, maka Semarang menyandang status sebagai sebuah kota Metropolitan. Bersejajar dengan Palembang dan Makassar untuk ukuran jumlah penduduk. Transportasi Umum Walaupun jarang menggunakan fasilitas ini, saya sangat senang apabila sebuah kota memiliki transportasi umum yang memadai, dengan kualitas yang baik, serta menjangkau kedaerah manapun. Transportasi di kota Semarang khususnya bus kota tidak memiliki terlalu banyak rute, ini sangat memudahkan untuk saya yang memang masih belum hafal betul kota Semarang. Di Semarang, dari pandangan saya yang belum genap sebulan migrasi total, untuk Public Transport saya nilai cukup, mengapa cukup ? Semuanya tersedia, mulai dari ojek, becak, angkot, bus kota, hingga Bus Rapid Transit. Tetapi kurang tertata dan pengelolaannya belum maksimal. Ruang Publik Hal ini mungkin agak berbanding terbalik menurut saya dengan pembangunan kota Semarang yang pesat (saya bilang pesat, karena banyak saya baca di Media, Semarang malah jalan ditempat, tetapi saya melihat pesat, hanya saja pesatnya sepertinya tidak terkontrol). Ruang publik di kota semarang nyaris tidak ada. Sekedar tempat untuk saya nongkrong atau hanya sekedar menikmati kota sambil bersantai, nyaris tidak ada. Semua tempat publik di sesaki dengan pertokoan, perkantoran, hingga jalur pejalan kaki (trotoar) terasa sangat sedikit dan sempit, sangat kontras dengan jalan yang lebar. Saat ini yang bisa saya lakukan hanyalah "lompat" dari satu mall ke mall yang lain sebagai tempat rekreasi penghilang penat. Padahal saya melihat banyak sekali potensi yang dapat dijadikan ruang publik. Banjir Sepanjang saya tinggal disini (Oktober - Januari, walaupun Januari baru pindah total), dan itu merupakan dimana musim hujan sedang berlangsung. Saya, belum pernah bertemu dengan yang namanya banjir. Mungkin saya beruntung, tapi "Banjir" yang ada dibenak saya sebelum saya pindah ke Semarang adalah banjir seperti yang terjadi di Jakarta dengan kedalaman 2 meter atau lebih dan melumpuhkan aktivitas kota. Banjir yang saya lihat terjadi akibat masuknya air laut (atau istilahnya rob) dan itu pun terjadi di tempat-tempat tertentu saja, dan tempat tersebut jarang saya kunjungi. ...... Mungkin saat ini baru beberapa hal tersebut yang sempat saya perhatikan. Gambar di ambil dari sini

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun