PENERAPAN TEORI HUKUM DALAM PELAKSANAAN KEADILAN RESTORATIF DI KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA
Hukum, adalah instrumen yang berfungsi untuk menjamin kepastian, keadilan, dan kemanfaatan, memegang peran penting dalam struktur sebuah negara dan semestinya hukum dapat berlaku panjang dalam satu masa. Tapi faktanya hukum kerap tertinggal dalam menjawab kebutuhan hukum masyarakat di setiap zaman. Dinamika masyarakat kerap bergerak cepat ketimbang hukum yang tertulis. Perlu terobosan hukum agar dapat mengikuti perkembangan dan kebutuhan hukum masyarakat.
Berdasarkan Teori Hukum Progresif  dari Prof. Dr. Satjipto Rahardjo adalah gagasan yang bertujuan untuk mewujudkan keadilan dan kesetaraan di masyarakat. Teori ini didasarkan pada pandangan bahwa hukum dibentuk untuk manusia, bukan manusia untuk hukum.
Beberapa prinsip hukum progresif menurut Satjipto Rahardjo:
- Hukum harus pro rakyat, pro keadilan, dengan bertujuan untuk kesejahteraan dan kebahagiaan.
- Hukum harus bersifat responsif dan mendukung pembentukan negara hukum yang memiliki hati nurani.
- Hukum harus dijalankan dengan kecerdasan spiritual yang membebaskan.
- Perilaku manusia harus diutamakan dalam berhukum, bukan peraturan yang tertulis.
- Hukum harus diperuntukkan untuk manusia dan kemanusiaan.
- Para pelaku atau aktor hukum harus berani menafsirkan teks hukum
Berkaitan dengan teori tersebut saat ini kinerja Kejaksaan dalam menanganani perkara hukum tak hanya secara legal formil, namun Kejaksaan juga melihat suatu perkara pidana secara utuh dan dalam penanganannya agar tidak menimbulkan pro dan kontra di masyarakat. Terkait hal tersebut upaya lain yang dilakukan Kejaksaan pada masa ini untuk menghadirkan keadilan yakni melalui Restorative Justice (RJ).
Dalam melaksanakan keadilan restoratif, para  pihak yang dilibatkan tidak hanya tersangka dan korban, namun juga tokoh masyarakat, tokoh adat, aparat penegak hukum lain seperti penyidik dan pengadilan dengan harapan keadilan restoratif yang dilakukan dapat diterima oleh masyarakat.
Kejaksaan memiliki mandat kuat dalam menjalankan keadilan restorative Dalam perspektif asas dominus litis sesuai  Pasal 139 KUHAP yang memberi kewenangan bagi penuntut umum menentukan apakah berkas perkara hasil penyidikan lengkap memenuhi syarat atau tidak untuk dilimpahkan ke pengadilan.
Semangat keadilan restoratif bukan lagi pemenjaraan sebagai ganjaran bagi pelaku tindak pidana, tapi  juga pemulihan perkara pidana. Namun demikian, penerapan keadilan restoratif oleh Kejaksaan tak serta merta dengan mudah dapat dilakukan dalam penanganan perkara. Ada syarat-syarat yang harus dipenuhi berdasarkan Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif dengan berlandaskan asas keadilan restoratif yakni keadilan, kepentingan umum, proporsionalitas, pidana sebagai jalan terakhir, dan cepat, sederhana, dan biaya ringan. Adapun 3 syarat perkara tindak pidana dapat dihentikan penuntutannya berdasarkan prinsip Keadilan Restoratif yaitu Pertama, tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana. Kedua, tindak pidana diancam dengan pidana denda atau diancam dengan pidana penjara tidak lebih dari 5 tahun. Ketiga, tindak pidana dilakukan dengan nilai barang bukti atau kerugian yang ditimbulkan akibat tindak pidana tak lebih dari Rp. 2.500.000,- .
Restorative justice tidak berlaku untuk perkara yang sulit dikembalikan seperti keadaan semula seperti kasus kejahatan seksual atau perkara pembunuhan.
Dalam penerapan keadilan restoratif, Kejaksaan mempertimbangkan sejumlah hal seperti subjek, objek, kategori, dan ancaman tindak pidana, latar belakang terjadinya/dilakukannya tindak pidana. Selanjutnya tingkat ketercelaan, kerugian atau akibat yang ditimbulkan dari tindak pidana tersebut. Kemudian cost and benefit penanganan perkara, pemulihan kembali pada keadaan semula, dan juga ada perdamaian antara korban dan tersangka.
Sejak diterbitkan Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif sampai dengan tahun 2023, jumlah perkara yang berhasil diselesaikan dengan pendekatan keadilan restoratif sebanyak 4.443 perkara dengan rincian: