Di sisi yang lain, ketidaktahuan masyarakat terkait status tanah yang sedang digarap disebabkan tidak ada pemberitahuan oleh perusahaan maupun pemerintah setempat (Pemerintah Desa) tentang luasan lahan milik perusahaan.
Kondisi dilematis ini menjadi fokus perhatian BPHP Wilayah III untuk merumuskan win-win solution. Salah satu langkah yang dikembangkan adalah dengan jalan non litigasi (diluar jalur pengadilan).
Strategi ini dianggap paling logis karna bisa mengakomodir kepentingan kedua belah pihak yang bersengketa, yaitu masyarakat dan perusahaan. Dedy Hidayana menambahkan bahwa BPHP Wilayah III sedang merumuskan regulasi terkait proses negosiasi antara masyarakat dengan perusahaan.
Namun upaya ini terkendala oleh legal standing BPHP yang belum memiliki kekuatan hukum sebagai pembuat kebijakan.
Menurut narasumber yang merupakan PNS Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) ini, peraturan P.49 tentang Kerjasama Pemanfataan Hutan (KPH) dan P.83 tentang Perhutanan Sosial harus diakui belum mengatur langkah taktis negosiasi antara pihak yang berkonflik.
Oleh sebab itu BPHP Wilayah III mencoba menggabungkan beberapa poin dari peraturan P.49 dan P.83 untuk dijadikan dasar hukum dalam proses negosiasi.
Proses negosiasi menurut BPHP Wilayah III akan dapat dilakukan setelah adanya pengakuan terhadap status tanah yang sedang disengketakan.
Misalnya, jika masyarakat mengolah lahan di atas lahan perusahaan, maka masyarakat harus mengakui bahwa lahan tersebut bukan milik pribadi. Begitupun sebaliknya, jika perusahaan menggarap di atas lahan masyarakat maka perusahaan harus mengakuinya.
Setelah pengakuan ini selesai, barulah proses perundingan bisa dilakukan. Sejauh ini BPHP Wilayah III mengakui bahwa lembaganya belum mempunyai best practice kasus yang telah berhasil diselesaikan dengan cara negosiasi atau jalur perundingan. Sehingga sulit untuk menjelaskan langkah teknis penyelesian konflik melalui jalur non litigasi ini.
Terkait proses pengakuan kepemilikan lahan, salah seorang peserta dari perwakilan perusahaan menyampaikan kondisi lapangan yang sedang dalam proses penyelesaian konflik.
Menurutnya, masyarakat telah mengakui bahwa lahan yang digarap adalah milik perusahaan, namun masyarakat tetap menginginkan bisa memanfaatkan lahan tersebut sebagai sumber pendapatan ekonomi. Kondisi ini membuat proses penyelesaian konflik menjadi buntu.