Mohon tunggu...
Husni Setiawan
Husni Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Tutor Universitas Terbuka dan Karyawan Magang Perkumpulan Scale Up Riau

Pemikiran hanya bisa abadi dalam sebuah tulisan sederhana

Selanjutnya

Tutup

Politik

Negara Dalam Ancaman Distrush?

6 Februari 2019   20:36 Diperbarui: 6 Februari 2019   20:48 67
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Beberapa waktu yang lalu, saya berdiskusi dengan beberapa teman mahasiswa. Kesimpulan hasil diskusi tersebut bermuara pada hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap institusi yang bernama negara Indonesia.

Kesimpulan yang cukup pesimistis sebagai generasi penerus bangsa, namun itulah kenyataannya. diskusi kami mulai dengan membahas legitimasi pemimpin dalam menjalankan roda organisasi. Dalam konsep legitimasi, seorang pemimpin (calon presiden, red) harus mendapatkan minimal setengah dari warga negara untuk bisa menjadi kepala pemerintahan. Pertanyaannya adalah bagaimana jika jumlah yang tidak memilih (golput) dan pemilih calon lain lebih banyak jumlahnya?

Misalkan saja, jumlah DPT untuk pemilu 2019 sekitar 192 juta pemilih (lebih banyak dibanding jumlah DPT Pilpres tahun 2014 yaitu 190 juta). Penambahan jumlah DPT diasumsikan merupakan pemilih pemula. Berarti 2 juta pemilih baru yang notabene merupakan generasi milenial. Berkaca pada Pilpres tahun 2014, angka partisipasi sebesar 70%. Sisanya merupakan golongan putih (golput). Perolehan suara presiden terpilih sekitar 71 juta (53,15%) suara sah dan calon yang kalah diangka 62 juta (46,85%) suara sah. Jika dijumlahkan, perolehan suara hanya 133 juta suara dari total DPT 190 suara. Angka golput mencapai 57 juta suara. Angka golput ini bisa bertambah melihat penambahan DPT sebanyak 2 juta suara pada Pilpres tahun 2019.

Jika dijumlahkan angka golput dengan pemilih calon yang kalah sekitar 119 (76,85%) DPT. Angka ini lebih banyak dibanding dengan jumlah suara pemilih presiden ditahun 2014. Lantas apa hubungannya dengan legitimasi? Toh Indonesia menggunakan sistem demokrasi perwakilan dimana legitimasi masyarakat dipercayakan kepada legislatif. Justru di sini letak persolannya.

Indonesia, sebagai negara kesatuan menjadikan presiden sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan. Dalam menjalankan aktivitas pemerintahan, kekuatan politik dibagi atas tiga lembaga besar (triaspolitica) yaitu Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif. Secara politik, keberlangsungan program presiden sangat bergantung kepada kesepakatan antara lembaga Eksekutif dan Legislatif. Misalnya presiden akan menjalankan program dana desa, maka anggaran program tersebut harus dibahas dan disetujui oleh Legislatif. 

Secara sederhana, keberlangsungan kegiatan presiden juga bergantung kepada lembaga Legislatif tersebut. Jika anggota Legislatif secara mayoritas menolak maka presiden tidak bisa berbuat banyak untuk membangun bangsa ini. Jadi, antara presiden dan anggota Legislatif harus memiliki visi dan misi yang linier dalam upaya menyejahterakan rakyat.

Problemnya adalah apakah anggota Legislatif memang benar merupakan suara rakyat? Saya masih percaya bahwa anggota Legislatif membawa suara partai politik, bukan rakyat. Secara sederhana, partai politik lebih mempertimbangkan hitung-hitungan fraksi dalam menyepakati sesuatu dibanding mengetahui secara pasti keinginan rakyat. Contohnya dalam perdebatan pengurangan subsidi BBM dan tarif listrik. Hanya berapa partai yang menolak dan hasilnya pengurangan subsidi BBM terjadi. padahal, jika ditanya kepada masyarakat saya percaya mayoritas akan menolak pengurangan subsidi BBm tersebut. Namun faktanya partai politik memilih untuk mengurangi subsidi kepada masyarakat.

Karna anggota Legislatif berasal dari partai politik, maka harapan rakyat berada padapartai politik. Pertanyaan serupa dengan anggota Legislatif, apakah parti politik membawa aspirasi rakyat? Saya juga masih berasumsi bahwa parti politik lebih mementingkan jumlah kursi di Legislatif dibanding sibuk menampung keinginan rakyat.

Jika sudah seperti ini lantas kepada siapa lagi rakyat akan percaya?

Tingkat golput merupakan salah satu bukti ketidakpercayaan masyarakat terhadap kepemimpinan bangsa ini. Hasil penelitian tentang golput yang dilakukan beberapa akademisi menunjukkan fakta bahwa salah satu faktor dominan  golput tahun 2014  karena masyarakat tidak percaya kepada partai politik. Untuk apa memilih partai politik yang tidak membawa dampak baik bagi perubahan bangsa menjadi lebih baik? kira-kira begitu kalimat yang dilontarkan teman diskusi saya.

Apakah angka golput tahun 2019 akan mengalami penurunan atau malah meningkat? Menurut saya angka golput mungkin tidak meningkat namun cenderung tidak akan turun. Hal ini disebabkan oleh calon presiden tidak berbeda dan partai politik baru yang menjadi peserta pemilu tahun 2019 tidak menampilkan harapan baru yang lebih baik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun