Dinamika politik lokal di Indonesia selalu berubah sepanjangwaktu. Pada era sebelum kemerdekaan, politik lokal di Nusantara menunjukkan potret buram karena penguasamemperoleh kekuasaan dalam kerang kahukum adat yang totaliter. Akibatnya sebagian besar lapisan masyarakat hanya diakui sebagai hamba (bukan warga) yang tidak pernah menjadi subjek pembangunan semasa itu. Masyarakat dijadikan objek dari kehidupan politik yang tidak berpihak kepada mereka. Berbagai bentuk pajakdan upeti ditarik oleh penguasa melalui aparatur represifnya yang menjadi kankondisi ekonomi masyarakat semakin terpuruk.
Setelah kemerdekaan, hak otonom (kerajaan) setiap daerah diberikan kepada negara (Pusat) untuk dikelola dalam bentuk negara kesatuan.Sampai pada masanya, hak otonom itu diberikan kepada masyarakat melalui kebijakan otonomi daerah. Kita bisa memahami bahwa politik lokal sebagai anti-tesis dari praktik sentralistik yang dianggap merusak tatanan negara kesatuan. Hal ini disebabkan otoritas yang didominasi oleh Soeharto sebagai strong-mendalam penyelenggaraan pemerintahan.
Kekuasaan Soeharto yang begitu besar dianggap merusak kedaulatan rakyat Indonesia yang terdiri dari berbagai macam suku bangsa hidup dibawah tekanan oligarki kekuasaan keluarga Soeharto. Sektor ekonomi yang dipegang oleh keluarga presiden tersebut menciptakan jaringan ekonomi-politik yang membuat kekuasaan Soeharto bertahan sampai 23 tahun lamanya. Kondisi ini membuat semua lapisan masyarakat geram sehingga reformasi menjadi jalan utuk memperbaiki keadaan dan hasilnya Indonesia menerapkan sistem desentarlisasi. Disinilah awal mula Indonesia berfokus kepada pembahasan politik lokal yang tidak berubah secara substansi dari pelaksaan oligarki kekuasaan pusat.
Desentralisasi sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas pelayanan dan kemakmuran rakyat tidak lebay jika dikatakan sebagai arena menciptakan "penjahat baru" ditingkat lokal. Desentralisasi digunakan oleh sebagian elit politik lokal untuk membangun oligarki politik dan ekonomi, sehingga memunculkan orang-orang kuat di tingkat lokal.
Para bos lokal melakukan berbagai strategi untuk bisa bertahan hidup memperluas dan mempertahankan kekuasaan dengan membentuk aliansi segitiga akomodasi, bersama aparat birokrasi negara dan politisi di tingkat lokal. Selain menggunakan partai politik, "orang kuat lokal" di beberapa daerah juga melakukan mobilisasi dengan mengeksploitasi politik etnis dan agama agar kekuasaan dapat langgeng di daerah.
Para local strongmenini dengan mudah menggerakkan masyarakat awamsesuai dengan perintahnya. Memanipulasi sentimen etnik, agama, dan adat sangat mungkin menggelorakan emosi masyarakat umum di daerah. Apalagi yang mengobarkannya adalah bangsawan lokal, pemuka agama, dan tokohadat yang selama rezim Orde Baruberkuasa mereka dimarginalkan.
Pola perebutan dan mempertahankan kekuasaan pada politik lokal tidak berubah dari pola sentralistik. Kekuasaan hanya berada pada sekelompok kecil (elit lokal) yang memiliki modal besar (ekonomi, sosial, agama dan politik) dalam kehidupan masyarakat. Lantas yang menjadi pertanyaan apakah desentralisasi hanya sebagai wadah menciptakan roving bandits(bandit baru) dan memperkuat local strongmen(elit lokal)?
Roving Bandits: Politik Ganti Baju
Pada masa rezim diktator-represif berkuasa, terdapat seorang bandit yang menguasai sesebuah teritori yang sangat luas, berperanan seperti sebuah situasi di mana banyak kumpulan yang dikuasai dan dinanungi untuk berkumpul dalam satu destinasi, yakni mengumpulkan kekayaan dan menjaga kekuasaan (penguasa pusat tersebut). Mereka bahkan akan menjaga wilayah tersebut, memberikan keleluasaan pada local strongmen, naungannya untuk terus beraktifitas sebagaimana biasanya. Dengan cara ini, sang stationary bandits akan dapat menarik pungutan yang merupakan sandaran hidupnya dengan kekal. Setelah rezim diktator-represif ini runtuh, bandit besar hilang; dan muncullah apa yang disebut Olson dengan roving bandits (bandit-bandit kecil) yang pernah dipelihara oleh bandit besar untuk mengumpulkan dan meraup keuntungan bagi stationary bandits. Roving bandits adalah bandit jenis berbeba yang selama ini mengambil-alih posisi dan peranan yang pernah dimainkan oleh bandit besar (dalam level dan skala teritori yang lebih kecil).
Menurut pandangan McGuire & Olson dan Olson, bandit jenis ini bukan hanya menjarah habis kawasan yang dikuasainya demi keuntungan dan kekayaan yang selama ini mereka tidak pernah peroleh.Tetapi juga berupaya mencari tempat atau kawasan baru untuk dijarah. Tentunya, dengan cara berkolaborasi dengan bandit tempatan di daerah yang akan dieksploitasinya.
Dalam praktik pemerintahan daerah, kekuasaan roving bandit menjadi sangat kuat sehingga dikenal dengan raja-raja kecil di daerah. Pemanfaatan modal ekonomi dan jaringan politik, roving bandit ini mampu mengandalikan pemerintah baik dalam posisi internal maupun eksetrnal. Pada rezim Orde Baru, kekuasaan bersumber dari Soeharto dan kemudian membuat jaringan-jaringan ke daerah namun masih dalam satu kendali penuh. Setelah reformasi jaringan-jaringan lama berubah menjadi penguasa baru yang lebih leluasa untuk mengatur daerah sesuai dengan keinginanya. Lahirnya oligarki kekuasaan, dinasti dan monopoli ekonomi-politik adalah sebagai bentuk nyata menguatnya cengkraman elit lokal dalam penyelenggaran pemerintahan daerah.